Mohon tunggu...
Aqmarina Andira
Aqmarina Andira Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

A mischievous girl who can fly and magically refuses to grow up

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Hal Abstrak Bernama 'Passion'

13 September 2013   09:47 Diperbarui: 24 Juni 2015   07:58 123
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Rasanya hampir semua orang, orang-orang kota lebih tepatnya, sibuk membahas hal abstrak bernama 'passion'. Katanya kalau mau bahagia, jadikan 'passion' itu sebagai pedoman. Jangan jadikan harta, kekuasaan, atau kedudukan sebagai tujuan. Jalani hidupmu dengan 'passion'.

Saya tidak tahu benar apa itu 'passion', seperti apa bentuknya, dan apa yang harus saya lakukan untuk menjadikannya pedoman. Saya tidak tahu. Dan saya tidak pernah benar-benar mencari tahu.

Tapi karena 'passion' ini begitu seringnya disebut-sebut. Dan rasanya yang menyebut-nyebut itu orang-orang yang termasuk dalam 'cool', maka mau tidak mau kata itu melekat di dalam pikiran saya.

Hari itu, di kelas Book Production and Publishing Industry yang saya hadiri, terjadi diskusi seru. Diskusi panjang, sedikit abstrak, dan tidak terstruktur. Namun kalau disuruh merangkum menjadi satu kata, maka diskusi hari itu adalah mengenai 'passion'.

"Hanya berdasarkan rasa ingin tahu, kira-kira berapa penghasilan tahunan jika kita bekerja di bidang Publishing di Australia?" Heli, teman sekelas saya bertanya.

Semua orang di kelas terdiam. Wajah-wajah mereka seperti terkejut. Sepertinya Heli baru saja mengeluarkan pertanyaan yang tabu.

Seperti menyadari apa yang baru saja ia perbuat dan dampak kecanggungan yang diakibatkan oleh pertanyaannya, Heli cepat-cepat menambahkan. "Saya tahu, orang-orang berkata kalau penghasilan jika bekerja di bidang penerbitan itu kecil. Tapi seberapa kecil? Sekarang saya bekerja sebagai sekertaris, dan gaji tahunan saya sekitar $60,000. Apakah lebih rendah dari gaji saya?"

Selama beberapa saat kelas kembali sunyi. Namun tiba-tiba Lauren, teman sekelas saya yang lain, seperti memutuskan untuk bersikap masa bodoh dengan etika dan harga diri, lalu menjawab pertanyaan polos Heli dengan terbuka dan gamblang.

"Di bawah. Jauh di bawah itu!" jawab Lauren yang kemudian diamini oleh beberapa orang yang sepertinya juga bekerja di dunia publishing.

Heli kemudian bertanya kembali, "jika penghasilannya kecil, kesempatan masuk ke industrinya juga terbatas, dan industrinya dirasa sudah tua dan hampir punah, lalu kenapa industri ini masih ada peminatnya?" tanya Heli. "Don't get me wrong, I love the industry, and I am paying for this course, but I am just wondering."

Pertanyaan yang membuat saya berpikir. Mungkin sudah lama ada dipikiran saya tanpa saya sadari. Atau mungkin saya sadari, tapi tidak berani saya utarakan. Karena tidak tahu harus bertanya kepada siapa. Atau saya terlalu takut mendengar jawabannya.

Lauren kembali menjawab, "Dulu saya bekerja di perusahaan hukum. Dan penghasilan saya cukup tinggi. Sedikit lebih besar dari penghasilan kamu sekarang. Namun kemudian saya memutuskan untuk bekerja di bidang publishing. Dan penghasilan saya sekarang menurun drastis. Sangat drastis. Tapi sekarang saya bisa membuat buku. Dan itu harga yang saya rasa pantas untuk saya bayarkan. It is a trade off that I am willing to pay!"

Semua orang mengangguk dan menghela nafas. Sepertinya jawaban Lauren benar-benar menggambarkan pemikiran orang-orang di kelas ini. Semua orang yang memilih untuk mempelajari industri ini dengan lebih dalam. Semua orang yang berharap bisa berkarir dan berkontribusi di dalam industri ini. Atau orang-orang yang mungkin ingin menjadikan industri ini sebagai identitas mereka.

Untuk saya pribadi, jawaban ini, dan wajah orang-orang yang mengamininya, benar-benar sangatlah menakjubkan. Saya seperti melihat bentuk nyata dari kosa kata abstrak bernama 'passion'. Kata yang selama ini terlalu muluk dan terasa terlalu indah.

Orang-orang di kelas saya hari itu adalah contoh nyata dari orang-orang yang berusaha menjalani hidupnya dengan 'passion'. Mereka tidak memilih jalan hidup karena jalan hidup tersebut akan memberi mereka harta yang melimpah, posisi yang dikagumi, atau memberi manfaat buat orang lain. Mereka memilihnya benar-benar karena mereka menginginkannya.

Mungkin mereka egois. Mungkin mereka bodoh. Tapi mereka sudah memilih. Mungkin dengan keyakinan yang tidak seratus persen. Namun terlihat sudah siap dengan konsekuensinya.

Meskipun terlihat sederhana dan tidak terlalu bermakna, namun hari itu saya mendapatkan pelajaran yang sangat berharga. Ternyata masih ada sisa-sisa orang romantis di dunia yang begitu praktis ini. Masih ada orang yang bisa mencintai suatu hal yang kemungkinan besar tidak akan memberikan balasan yang 'setimpal' untuk mereka. Ternyata dunia ini masih bisa berputar dengan bahan bakar 'cinta'.

Haha, biasanya saya akan menjadi skeptis dan berkomentar, "makan tuh, cinta!" Tapi kali ini saya akan diam. Diam dan berharap bisa seyakin teman-teman sekelas saya dalam memilih, menjalani, dan menerima konsekuensinya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun