Saya perempuan. Dan kini usia saya sudah menginjak seperempat abad. Saya tinggal di lingkungan pedesaan yang masih menjunjung tinggi sikap patriarki. Sikap yang bagi saya itu sangat menggangu sekali. Sebab terlahir sebagai seorang perempuan, gerak dan tingkah laku seakan terasa terbatasi serta selalu diawasi.
Saya mengakui tinggal dilingkungan patriarki sangat tak mudah. Perempuan harus dituntut serba sempurna berdasarkan anggapan masyarakat. Perempuan di lingkungan patriarki harus bisa memasak, mengurus urusan domestik, dan tak perlu mengambil banyak peran di ruang publik. Perempuan dalam lingkup patriarki didoktrin untuk selalu taat dan patuh serta tak boleh membantah setiap perkataan suami.
Perempuan yang berpendidikan tinggi dan punya kecerdasan dianggap sebagai perempuan yang melawan kodratnya. Sebab bagi lingkungan patriarki, perempuan hanya dianggap sebagai makhluk lemah, tahunya dapur, sumur, dan kasur. Kalau orang sekarang lebih mengenal dengan (ah), umbah-umbah, isah-isah, momong bocah dan ah.. ah.. ah..lainya.
Siklus perjalanan hidup seorang perempuan pada lingkup patriarki pun sudah ditentukan. Saat remaja harus berkelakuan baik, menjadi anak penurut, lalu menikah dan menjadi seorang ibu. Jika tak seperti itu, maka belum dianggap sebagai perempuan sempurna. Bukankah ini terlihat membebankan. Tentu membosankan bukan?
Saya telah mengalami dan menjalani hal itu. Dari mulai saya disudutkan untuk segera menikah, sampai pada di dunia kerja, jarang sekali pendapat saya didengarkan. Namun, meski begitu saya tetap menjalani rutinitas tersebut dengan santai. Salah satu penyebabnya adalah saya mendapat dorongan semangat dari orang terkasih.
Usia saya saat ini kiranya dianggap sebagai usia sudah matang untuk melangsungkan pernikahan. Maka dari itu, orang tua saya yang masih memegang kental budaya patriarki tersebut, merasa khawatir dan risau untuk segera menikahkan saya. Mereka takut saya akan mendapat label perempuan tak laku atau perawan tua dari masyarakat setempat. Tanpa harus memperdulikan perasaan dan hati saya, akankah perempuan tak bisa menentukan akan cinta dan kehidupannya?
Tampaknya penilaian dari masyarakat lebih diutamakan orang tua saya ketimbang kebahagiaan anaknya sendiri. Bagi saya pernikahan adalah pertalian sakral, mengikat laki-laki dan perempuan dalam dan dari segi apapun. Baik secara agama maupun negara. Jadi tak sembarangan memutuskan untuk menikah itu. Sebab pernikahan adalah pertangungjawaban atas diri sendiri dan penentuan masa depan.
Pada sisi dunia kerja pun begitu. Pendapat saya selalu diremehkan. Alasannya saya masih bau kencur lah, belum banyak merasakan manis pahitnya kehidupan. Anggapan dan penilaian yang dialamatkan kepada saya tersebut, saya mencoba membalas dalam bingkai sebuah karya. Meski awalnya saya sendiri merasa kurang percaya diri dan takut, namun suatu ketika datanglah seorang laki-laki yang kini teramat saya sayangi memberikan dorongan dan support terhadap karir saya.
Saya diajarinya menulis, dibimbing untuk mengasah bakat yang selama ini terpendam. Dua hal yang memang sedari lama saya abaikan. Orang tua saya terkhusus ibu selalu mewanti-wanti agar saya tak terlalu banyak beraktivitas didunia publik. Alasannya sederhana. Kembali lagi saya adalah perempuan yang hanya boleh bertugas di rumah saja, dan menginginkan saya segera menikah.
Saya sering kali mengeluh. Mengapa saya seakan tak diberi ruang untuk menjelaskan keinginan dalam menggapai cita-cita sebelum akhirnya memutuskan untuk menikah. Toh apa yang saya kerjakan tak merugikan orang lain. Saya hanya mengusahakan apa yang bisa saya kerjakan untuk turut membantu mengembangkan organisasi tempat saya menggali potensi.
Saya akan terus mengasah bakat yang ada dalam diri saya. Jika ditanya sampai kapan, saya sendiri tak tahu. Namun satu hal yang perlu digaris bawahi. Suatu ketika saya akan menikah dengan laki-laki yang saya pilih. Laki-laki yang tahu caranya memperlakukan perempuan dan senantiasa menjunjung tinggi kesetaraan dan kesalingan.
Karena jika salah memilih pasangan, maka akibatnya adalah semakin berat menjalani kehidupan rumah tangga. Menikah kan tak hanya soal bahagianya saja. Banyak rintangan silih berganti saling datang dan menghadang. Mulai dari sisi ekonomi sampai dengan soal bermain hati. Jika pasangan yang kita pilih tak memahami konsep kesetaraan dan kesalingan tersebut, kita akan berada pada lingkaran hubungan yang toxic. Dan itu pasti tak enak dan tak nyaman.
Seringkali saya ditekan dengan dalil agama yang mengatakan bahwa menjadi seorang perempuan itu sangat mudah untuk mendapatkan pahala. Yaitu hanya dengan patuh terhadap suami, tak membantah setiap perkataannya, melayaninya, dan merawat anak-anak serta mampu mengatur segala kebutuhan rumah. Maka pahala akan mengalir tak ubahnya air sungai yang mengalir.
Mengapa perempuan hanya dinilai dari sisi seperti itu saja, sisi yang merendahkan perempuan. Kenapa tak memandang perempuan dari sisi kecerdasan intelektual yang dimilikinya juga. Mengapa pahala untuk perempuan hanya sebatas pada lingkaran domestik saja. Padahal sejatinya laki-laki dan perempuan adalah sama dan sejajar.
Saya pernah membaca sebuah kutipan seperti ini.
"Mereka yang kerap mempertanyakan perempuan, justru adalah mereka yang kerap kali kebosanan atau tak punya cukup kecakapan sehingga harus menjadikan kehidupan orang lain sebagai hiburan." (Najwa Shihab)
Atau seperti yang dikatakan Mbak Najwa saat dirinya menjadi bintang tamu pada acara Opera Van Java waktu itu.
"Mengapa perempuan harus disuruh memilih (ibu rumah tangga dan wanita karir) saat ia sendiri mampu untuk menjalani keduanya."
Saya seperti mendapat suntikan energi. Bahwa jika ada seorang perempuan yang menempuh pendidikan tinggi ataupun memiliki kecerdasan intelektual, seharusnya kita bangga dan mendukung dirinya. Bukan malah menjatuhkannya dengan memberikan label bahwa dirinya menyalahi kodrat atau malah untuk melawan laki-laki. Paling menyakitkan adalah yang memberikan label itu justru sesama perempuan itu sendiri.
Disisi lain, bukankah kehidupan ini kita diajarkan untuk senantiasa belajar. Belajar apa saja. Bahkan saat telah menjadi orang tua pun kita seharusnya terus belajar. Zaman semakin berkembang, kita pun juga harus ikut berkembang.
Terakhir yang ingin saya sampaikan, bahwa menjadi perempuan atau laki-laki kita tak bisa memperkirakannya. Sebagai sesama manusia, seharusnya kita harus saling menghormati dan menghargai. Karena sesungguhnya kita tak pernah tahu benar itu seperti apa? Bahkan yang dikatakan bahagia itu ketika apa?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H