Pada saat sedang berbincang santai dengan orang terkasih, tiba-tiba dia menunjukkan sesuatu kepada saya. Kompetisi menulis tentang sebuah kebajikan.Â
Dia yang notabene sebagai pembimbing sekaligus motivator saya dalam menulis, menyarankan untuk menuliskan pengalaman tentang hal sederhana yang saya lakukan waktu itu saat berangkat bekerja.Â
Maklum dirinya telah menjadi pendengar setia atas segala keluh kesah yang saya utarakan. Bahkan lebih dari itu, ia akan sigap menyiapkan bahu saat saya membutuhkan sandaran.
 Suatu pagi saat saya berangkat bekerja, saya menjumpai seorang perempuan paruh baya sedang menggendong bakul (wadah atau tempat yang terbuat dari anyaman bambu atau rotan dengan mulut berbentuk lingkaran) yang cukup besar. Saya memanggilnya Mbah Paimah. Lantas saya berhenti disampingnya dan bertanya.
"Mau kemana Mbah?"
"Mau pulang, Nduk."
"Ohh bareng saya saja Mbah."
Ia awalnya tak mau, sebab takut merepotkan. Namun saya tetap bersikeras mengajaknya dengan alasan jalannya satu arah dengan tempat saya bekerja. Saya tak tega jika membiarkannya berjalan seorang diri ditengah terik matahari. Meski tak terlalu siang, namun sinar matahari cukup membuat tubuh lebih cepat berkeringat.
Sepanjang perjalanan kami terdiam dengan pikiran masing-masing. Saya tak berani mengajukan pertanyaan, begitu juga dengan Mbah Paimah yang lebih memilih untuk diam. Mbah Paimah hanya menunjukkan jalan yang biasanya ia lalui.Â
Saat hampir sampai pada jalan raya, ia meminta berhenti. Setelah turun dari sepeda motor, ia mengucapkan terimakasih. Kemudian saya berlalu untuk melanjutkan perjalanan. Meski jalan yang telah terlewati justru akan membuat saya lebih lama untuk sampai ditempat bekerja, namun saya tak mempermasalahkannya.
Pada hari berikutnya, kebetulan lagi saya bertemu dengan Mbah Paimah. Dengan pakaiannya yang khas memakai jarik dan caping gunung, dari kejauhan saya sudah bisa menebaknya. Kecepatan motor saya tambah untuk bisa segera sampai disampingnya.Â
Dengan senang hati saya kembali menawarkan diri untuk memboncengkannya. Terlihat dari wajahnya yang tak lagi muda itu mengembangkan senyum. Sepanjang perjalanan kali ini saya mencoba memberanikan diri mengajukan beberapa pertanyaan. Ternyata Mbah Paimah merespon dengan baik dan begitu antusias.
Diusia senjanya Mbah Paimah masih semangat dalam mencari rejeki. Ia menggendong bakul yang berisi tape dari fajar hingga siang hari. Kadang tak hanya tape saja yang ia bawa, melainkan ada jeruk, salak, apel, dan terkadang terasi atau bawang merah.Â
Ia berjalan kaki dari rumahnya menuju beberapa desa yang berbeda kecamatan. Dengan perawakan yang begitu santun dan mudah bergaul, kini Mbah Paimah telah memiliki pelanggan tetapnya. Jarak rumahnya pada tempat yang ia tuju sangatlah jauh.
Ia harus menggunakan transportasi umum untuk sampai di desa-desa tersebut, salah satunya desa saya Margomulyo salah satu desa yang berada di Kabupaten yang mempunyai jargon Bumi Mina Tani. Desa saya sendiri jaraknya kurang lebih satu kilometer dari jalan raya.
Mbah Paimah menjalani rutinitasnya itu dengan berjalan kaki. Beberapa kali pula ada orang-orang baik yang bersedia memboncengkannya. Keuntungan dari hasil jualannya tak begitu banyak, namun ia tetap ikhlas menjalaninya.Â
Saya sempat bertanya tentang keberadaan anak-anaknya. Anak-anaknya telah sukses dan memiliki kehidupan masing-masing. Akan tetapi Mbah Paimah memilih tetap berjualan dengan maksud agar tak merepotkan anak-anaknya. Karena baginya berkat usaha inilah ia berhasil mengantarkan anak-anaknya menjadi orang yang sukses.
Sungguh cerita yang mengharukan. Perjalanan kali ini terasa begitu cepat untuk sampai ditepi jalan raya. Dengan senyuman yang meneduhkan itu, Mbah Paimah tak lupa mengucapkan terimakasih.Â
Sempat ia hendak memberi saya tip atau uang ganti bensin, namun saya tolak. Sebab saya teringat dengan nasihat orang tua, jika berbuat sesuatu harus dilandasi keikhlasan diri dan tanpa mengharapkan apapun.
Tuhan telah menuntun diri saya untuk peduli kepada Mbah Paimah. Bahkan saya tak menyangka jika dari hal sederhana ini saya telah mendapatkan pelajaran yang begitu berharga. Bahwa dibalik sebuah kebaikan, tersimpan kebaikan-kebaikan lainnya.Â
Saya belajar dari Mbah Paimah tentang bagaimana memaknai hidup. Tentang menjadi pribadi yang mandiri dan penuh semangat. Terima kasih Mbah. Dari Mbah Paimah saya mendapatkan pelajaran, yaitu apa pun profesi dalam bekerja jika di tekuni, di istiqimahi maka akan membuahkan hasil.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI