Mohon tunggu...
Inamul Hasan
Inamul Hasan Mohon Tunggu... Freelancer - Pegiat Literasi

Santri | Mahasiswa | Researcher | Traveler | Peresensi | Coffee Addict | Interested on History and Classical Novels

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Prabowo dan Faldo: Jalan Sama, Nasib Berbeda

24 November 2019   14:30 Diperbarui: 24 November 2019   16:35 1263
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Faldo dan Prabowo Ketika Sama-Sama dalam Koalisi Adil-Makmur (@FaldoMaldini)

Sebagai alumni Imperial College London, dukungan untuk Faldo tidak hanya dating dari Sumatera Barat. Dukungan dari luar Sumbar juga banyak berdatangan terutama untuk 'ongkos' naik menjadi calon gubernur. Titik demi titik terus dikunjunginya agar masuk dalam bursa calon gubernur. Dukungan semakin hari semakin bertambah hingga sekarang, karena cukup banyak orang menaruh harapan besar untuk anak muda ini.

Kenapa harus PSI? Kenapa tidak bertahan di PAN saja, atau pindah ke Gerindra sebagai partai yang paling kuat di Sumbar ketika Pilpres dan Pileg kemarin? Sepertinya sangat sulit bagi Faldo untuk maju sebagai calon gubernur dari PAN. Ia harus melangkahi politisi senior PAN yang berada di Sumbar  terlebih dahulu.

Dari sini, terkesan  bahwa Faldo sangat 'haus jabatan' dan terlalu 'tergesa-gesa'. Kenapa langsung maju sebagai calon gubernur? Kenapa tidak bersabar dan menunggu 5 tahun lagi agar dapat memberikan sedikit kontribusi terlebih dahulu?

Apakah ia sadar bagaimana cara masyarakat Sumbar menentukan pemimpinnya? Apakah ia masuk dalam kategori pemimpin ideal  dalam kacamata masyarakat di Sumatera Barat? Apakah ia mampu masuk dalam bursa calon gubernur?

Jika melihat tokoh seperti Bung Hatta, Bung Sjahrir, Haji Agus Salim, Tan Malaka dan lainnya tentu sangat berbeda dengan Faldo. Mereka memiliki idelisme yang kuat walaupun berbeda latar pergerakan. Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI) tahun 1948 dan Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) tahun 1958 merupakan bentuk idealisme tokoh-tokoh nasionalis asal Sumatera Barat pada waktu itu.

Idealisme itu sangat terlihat jelas ketika Bung Hatta rela meninggalkan kursi sebagai Wakil Presiden (1956) karena bertentangan dengan Soekarno. Begitu juga yang dilami oleh Natsir setelah kabinetnya dibubarkan oleh Soekarno (1951). Hal semacam ini tentu membutuhkan idealisme yang tinggi. Oh iya, zaman telah berubah. Dulu zamannya politik perjuangan, sekarang zaman politik kekuasaan.

@FaldoMaldini
@FaldoMaldini
Menakar Target Faldo: Cagub atau Cawagub?

Banyak rintangan yang harus dihadapi oleh Faldo untuk duduk sebagai Sumbar-1. Pertama, PSI  tidak memiliki kursi satupun di DPRD Sumbar hingga saat ini. Adalah 'isapan jempol' belaka, jika Faldo berharap menduduki kursi Sumbar-1 dari PSI sebagai partai pengusung utamanya.

Kedua, ia harus menyadari apa yang telah diperbuat oleh PSI terhadap Sumatera Barat dalam 5 tahun ini. PSI dianggap sebagai partai anti-syar'iat Islam, sedangkan masyarakat Sumatera Barat sangat kuat orientasinya terhadap syariat Islam yang terlihat dalam falsafah hidup mereka yaitu, "Adat Bersendi Syara', Syara' Bersendi Kitabullah". 

Sakit hati ini tentu sangat memberikan efek terhadap PSI. Hal ini setidaknya sebagaimana yang dialami oleh PDIP di Sumatera Barat, akibat sejarah kedekatan Soekarno dengan komunis.

Ketiga, ia masih tersandera dengan umurnya. Makanya ia harus melakukan judicial review di Mahkamah Konstitusi (MK) terkait umurnya. Untuk mencalonkan diri sebagai gubernur, ia harus berumur 30 tahun sedangkan saat ini ia masih berumur 29 tahun. Doakan saja, semoga berhasil bro!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun