Mohon tunggu...
Inamu Dzakiyya 99
Inamu Dzakiyya 99 Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mindfullness
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Penikmat Kopi & Puisi

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud Pilihan

Push Parenting, Memenuhi Ekspektasi Orangtua

20 Maret 2022   16:51 Diperbarui: 20 Maret 2022   17:18 890
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Terdapat 4 bentuk pola asuh yakni pola asuh penelantaran, demokratis, otoriter dan permasif (Santrock, 2020). Setiap pola asuh tiap-tiap orang tua yang di berikan kepada anak tentunya memiliki sisi kelebihan dan kekurangan yang hal tersebut berdampak kepada anak.

Beberapa orang tampak berusaha untuk mengikuti sebuah tren yang sedang berkembang di lingkungan sekitarnya. Mulai dari model jilbab hingga bentuk pemakaiannya. Mulai dari bentuk rumah hingga profesi pemiliknya, tidak pula ketinggalan bagaimana model pengasuhan yang di gunakan oleh artis idola mereka. 

Sering kali ketika melihat orang-orang yang postingan media sosialnya tampak menarik dan tampak berhasil ketika di berikan kepada anaknya, kita pun mengira demikian jika model sebuah pengasuhan yang di berikan kepada anak kita sama berhasilnya, padahal hal tersebut belum tentu.

Dan seakan-akan rencana menjadikan anak yang "sempurna" adalah jadwal penting  orang tua saat ini.

Hampir setiap Anak yang di lahirkan di dunia ini bertemu dengan ambisi, atau jika memasuki jenjang pendidikan yang sering kita lihat adalah ambisi menjadi juara di kelas, hal ini sering di temukan ketika dalam obrolan satu keluarga mulai dari anak pertama hingga saudara ayah dan bundanya, saling membagikan pengalaman-pengalaman yang menonjol di antara yang lain. 

Dan, sadar gak sih, sebenarnya secara tidak langsung, ambisi dibangun dari dinding-dinding lingkungan orang terdekat kita. Dan efek samping dari sebuah ambisi selalu mengarah pada hasil tanpa memperhatikan proses yang dialami oleh anak.

Sebuah ambisi yang ditunjukkan kepada anak-anak secara tidak langsung akan menjadi sebuah tuntutan bagi anak itu sendiri yang tentu akan berdampak pada kehidupannya. Seperti ketika anak yang sebenarnya memiliki minat dalam sebah bidang, ia tidak mampu menolak ambisi yang sudah orang tua harapkan, bahkan sering kali minat anak terabaikan, akibat ambisi tersebut.  

Lalu Apa saja ciri-ciri dari push parenting ?

Menurut Elisabeth  Guthrie dan Kathy dalam bukunya yang berjudul "No More Push Parenting" :

  • Mengatur nyaris setiap menit hidup anaknya dengan kursus-kursus, proram sosialisasi dan kegiatan-kegiatan "pengayaan" lainnya.
  • Menuntut prestasi tinggi di sekolah dan di berbagai bidang lain, nyaris dengan segala cara (emosional, psikologis, fisik, dan dana)
  • Menekan anak memilih kursus, pelatihan atau minat  lebih tujuan membuat CV atau Daftar Riwayat Hidup yang mengesankan daripada untuk memenuhi rasa ingin tahu yang alamiah dan minat pribadi
  • Mencampuri persahabatan dan hubungan anak dengan guru dan pelatihnya.

Pengasuhan anak dengan push parenting seolah-olah mendapat "pembenaran" karena tujuannya yang sangat baik, dengan pengalihan bahasa "semua demi kebaikan dan kebahagiaan anak kedepannya". Kebahagiaan anak atau kebahagiaan orang tua? 

Terkadang tuntutan yang diberikan orang tua kepada anak perlu di pertanyakan lagi. "Hanya" demi kepentingan anak ? atau "Kepentingan" orang tua yang terselubung di dalamnya. Tentu tidak ada orang tua yang ingin anak-anaknya tertekan dan tidak menikmati masa usia bermainnya, tetapi tanpa sadar sebenarnya Push Parenting, banyak orang tua yang di sadarai atau pun tanpa di sadari telah mengambil hak keceriaan masa kanak-kanak anak mereka.

Adapun mengapa Push parenting di katakana tidak efektif, yang pertama ialah karena :

  • Menciptakan Anak yang dekat dengan Stress dan Depresi

Pola asuh sejak kecil tentu sangat berpengaruh pada kehidupan dewasa seorang anak, beberapa waktu lalu, mendapati teman yang merasa bahwa hidupnya memang di dalam tekanan Ayahnya. Ia harus mau mengikuti apa yang ayahnya ajarkan. Jika tidak, hal ini akan berdampak pada "Anggapan bukan anaknya lagi". Sehingga hal tersebut membuat ia takut dan cemas untuk tindakan yang ia ambil, sehingga ia membutuhkan validasi atau ersetujuan dari ayahnya.

 Ironisnya juga, hal ini bukan hanya ia alami sendiri, kakaknya sebelumnya juga pernah mengalami hal serupa dengannya.Dari hal di atas tampak, bahwa terdapat anak yang selalu berusaha menyenangkan hati orang tua mereka dengan mengikuti semua kemauan dan anjuran orang tua.

  • Mementingkan Prestasi dan Mengabaikan Kepribadian

Push Parenting menekakan anak harus mendapatkan sesuatu yang sempurna, misalnya ia harus berprestasi terus, dengan demikian gambaran "prestasi" akan memberikan efek kepada si anak akan memperoleh pekerjaan yang baik atau pun supaya dapat di katakana bahwa ia berhasil dalam hidup. 

Selain itu Salah satu aspek positif dari kepribadian yang terabaikan dari push parenting adalah kemandirian. Karena orang tua yang terlihat ingin selalu mau terlibat dalam pengambilan keputusan anak, mengatur segala kehidupan anaknya, sehingga hal tersebut tidak memberikan ruang untuk anak berfikir dan memberikan pendapat sesuai sudut pandangnya.

Anak juga manusia yang memiliki hak untuk berbicara dan mengemukakan pendapat atau keinginannya apa yang menjadi kesenangannya . anak-anak juga butuh untuk di dengarkan dan di mengerti, melalui hal tersebut bahwa mereka di terima. Hal ini sebuah esensi supaya anak juga memiliki penghargaan diri (self-esteemIiI) dari orang tua maupun lingkungan terdekatnya.

  • Kehilangan Waktu yang bermakna dalam keluarga

Salah satu konsekuensi dari pola pengasuhan ini ialah waktu anak yang di haruskan untuk mengikuti kegiatan-kegiatan supaya memperoleh prestasi yang banyak dalam berbagai bidang,

Penelitian di Universitas of Michigan (1998) menunjukkan bahwa waktu bebas anak-anak yang berada di bawah 13 tahun berkurang sebanyak 16 % dalam satu generasi, yaitu dari 63 jam menjadi 51 jam  seminggu. Mungkin hal yang dapat kita lihat bahwa kebanyakan orang tua, prestasi anak mereka jauh lebih penting daripada bincang-bincang santai di sekitar meja makan ndan di depan televisi, atau sekedar bersantai di atas tempat tidur.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun