Mohon tunggu...
Nur Inayati Fauziyah
Nur Inayati Fauziyah Mohon Tunggu... Lainnya - Ibu Rumah Tangga

Passionate in environmental, early childhood education and globalization issues. Loves to write everything.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Alam & Tekno Pilihan

Atasi Perubahan Iklim Lewat Paradigma Anti-Mainstream

2 Juni 2023   14:56 Diperbarui: 2 Juni 2023   15:01 988
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Dua badai terjadi secara bersamaan bisa jadi adalah suatu kebetulan, akan tetapi jika tiga badai terjadi sekaligus, itu pasti karena perubahan iklim". Begitulah pendapat yang dikemukakan Philip Wilianson, Koordinator Sains NERC di University of East Anglia menanggapi terjadinya badai Harvey, Irma dan Jose yang terjadi dalam waktu berdekatan di Amerika Serikat pada 2017 silam.

Mungkin bagi kebanyakan orang mendengar pernyataan tersebut tidak ada pengaruhnya toh itu di Amerika yang notabenenya jauh dari Indonesia. Tapi tahukah kalian bahwa gelombang badai seperti yang terjadi di Amerika Serikat itu sangat potensial terjadi juga di Indonesia. Sebagai negara tropis salah satu potensi perubahan iklim yang dihadapi Indonesia adalah El Nino Southern Oscillation (ENSO). 

ENSO merupakan fenomena global dari sistem interaksi lautan atmosfer yang ditandai dengan adanya anomali suhu permukaan laut yang jika anomali suhu permukaan laut di daerah lebih panas dari rata-ratanya maka disebut El-Nino, namun jika anomali suhu permukaan laut negatif disebut La-Nina. Di Indonesia, El-Nino akan berdampak pada terjadinya kekeringan di sejumlah wilayah sedangkan La-Nina akan menyebabkan curah hujan di Indonesia meningkat. Akibatnya, sejumlah wilayah yang terdampak akan mengalami kekeringan ekstrem hingga krisis pangan maupun gagal panen karena curah hujan yang tidak menentu.

Kekeringan melanda Kabupaten Lombok Tengah sejak 2019 menyebabkan petani setempat gagal panen. (Sumber: Mongabay Indonesia)
Kekeringan melanda Kabupaten Lombok Tengah sejak 2019 menyebabkan petani setempat gagal panen. (Sumber: Mongabay Indonesia)

Fenomena El-Nino dan La-Nina tersebut merupakan salah satu dari sekian banyak dampak perubahan iklim yang kita rasakan saat ini. Bencana banjir, tanah longsor, kebakaran hutan maupun gelombang panas adalah dampak tangible (nyata) yang bisa kita rasakan dengan mata kepala kita sendiri. Namun, terdapat pula dampak intangible (tidak nyata) dari adanya perubahan iklim seperti produksi pangan yang terganggu, munculnya penyakit baru, penurunan kualitas air, bahkan bisa berdampak pada kestabilan keuangan negara. Kok bisa ya sampai seluas itu dampaknya? Memangnya apa hubungannya? Berarti se-bahaya itu kah perubahan iklim?

Untuk menjawab berbagai pertanyaan tersebut tentu kita harus memahami terlebih dahulu mengenai apa yang dimaksud perubahan iklim. Mengutip dari UNFCCC mendefinisikan perubahan iklim sebagai perubahan pola cuaca dan iklim yang disebabkan baik secara langsung atau tidak langsung oleh aktivitas manusia sehingga mengubah komposisi dari atmosfer global dan variabilitas iklim alami pada periode waktu yang dapat diperbandingkan. Perubahan iklim tidak terjadi secara tiba-tiba namun dalam jangka waktu panjang antara 50 s.d. 100 tahun. 

Periode waktu yang berlangsung lama tersebut lah yang membuat kita merasakan dampaknya sekarang. Artinya, sejak zaman Revolusi Industri ketika kegiatan perekonomian sedang masa puncaknya, bibit-bibit perubahan iklim sudah terbentuk melalui zat emisi yang dikeluarkan hingga detik ini pun kita merasakan dampaknya sendiri.

Fakta Lingkungan Indonesia di Lapangan

Dunia sedang tidak baik-baik saja. Itulah kalimat yang pasti sering kita lihat dan dengar ketika berbicara soal perubahan iklim. Kurang adil rasanya jika kita mengatakan seperti itu tanpa melihat data yang ada. Salah satu data yang bisa dijadikan dasar untuk melihat kondisi terkini lingkungan di Indonesia adalah melalui Indeks Kualitas Lingkungan Hidup (IKLH) yang setiap tahun dikeluarkan secara resmi oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). IKLH merupakan indeks yang menggambarkan kondisi dari hasil pengelolaan lingkungan hidup secara nasional, dimana IKLH merupakan generalisasi dari indeks kualitas lingkungan hidup seluruh Kabupaten/Kota dan Provinsi di Indonesia. IKLH sendiri merupakan komposit (gabungan) dari 4 indikator yaitu Indeks Kualitas Air, Indeks Kualitas Udara, Indeks Kualitas Tutupan Lahan dan Indeks Kualitas Air Laut. Masing-masing area memiliki parameter yang berbeda-beda.

KLHK melaporkan bahwa nilai IKLH Indonesia sejak 2018 hingga 2022, alias lima tahun terakhir meningkat. Berturut-turut nilainya 65,14; 66,55; 70,27; 71,45; dan tahun 2022 sebesar 72,42poin. Hal ini dipandang sebagai suatu hal positif yang tentunya dapat menjadi bahan evaluasi bagi seluruh pemangku kepentingan agar dapat meningkatkan hasilnya setiap tahun. Selain itu, laju deforestasi di Indonesia selama 4 tahun terakhir ini mengalami penurunan yang sangat signifikan bahkan mencapai tingkat terendah dalam 20 tahun terakhir. 

Dilansir dari website KLHK,  deforestasi tertinggi terjadi pada periode tahun 1996 hingga 2000, yaitu sebesar 3,5 juta ha per tahun. Kemudian pada periode 2002 hingga 2014, menurun hingga 600 ribu sampai 400 ribuan ha. Akhirnya mencapai titik terendah laju deforestasi pada tahun 2020 sebesar 115 ribu ha. Hasil ini tentunya merupakan buah dari usaha pemerintah Indonesia yang berinisiatif untuk memulihkan ratusan ribu hektar mangrove yang tersebar luas di seluruh wilayah pesisir pantai. Kedua hal tersebut merupakan prestasi Indonesia di bidang lingkungan yang patut kita apresiasi.

Namun, di balik prestasi tersebut masih terdapat pula rapor merah yang menjadi PR bagi seluruh pihak dan perlu mendapatkan atensi serius oleh pemerintah. Salah satunya adalah fakta  cc0079cbahwa Indonesia menduduki ranking satu negara paling berpolusi se-Asia Tenggara pada tahun 2022. Berdasarkan laporan World Air Quality (IQAir) tahun 2022, tingkat konsentrasi PM 2.5 harian Indonesia mencapai 30.4 gram/m3 dan 36.2 gram/m3 untuk Jakarta. 

Tingkat konsentrasi tersebut masih 6-7x lipat lebih tinggi dari standar yang ditetapkan oleh WHO. Kondisi ini didominasi oleh sumber polutan terbesar yaitu asap kendaraan bermotor khususnya kendaraan pribadi disusul oleh kebakaran lahan hutan dan PLTU batubara. Laporan IQAir menyebutkan, polusi udara terus menjadi persoalan lingkungan terbesar yang berisiko terhadap kesehatan. Kelompok yang terus-menerus terekspos dengan udara buruk rentan mengalami gangguan kesehatan, mulai dari mengidap penyakit asma, kanker, paru-paru, jantung, hingga mengalami kematian.

Infografis Fakta Lingkungan Indonesia (Sumber: Olahan pribadi edit by Canva) 
Infografis Fakta Lingkungan Indonesia (Sumber: Olahan pribadi edit by Canva) 

Emisi Karbon, Kontributor Utama Perusak Bumi

Sebenarnya masih banyak sekali permasalahan lingkungan selain yang disebutkan diatas. Masalah polusi hanya satu dari sekian banyaknya problem lingkungan yang akan terus menjadi PR bagi negara. Belum lagi soal urusan pengelolaan sampah, sisa makanan, limbah industri tekstil, pencemaran tanah dan air, banjir bandang, tanah longsor, rusaknya ekosistem keanekaragaman hayati, dan masih banyak lagi. Semua permasalahan tersebut tentu akan mengganggu kondisi lingkungan yang ujung-ujungnya berkontribusi terhadap jejak emisi yang dihasilkan. 

Salah satu emisi yang berbahaya dan dapat menyebabkan perubahan iklim adalah emisi karbon. Sederhananya, emisi karbon adalah proses terlepasnya senyawa karbon ke atmosfer yang mana karbon tersebut dapat merusak lapisan ozon sehingga menyebabkan suhu di bumi meningkat. 

Emisi karbon paling sering dihasilkan dari berbagai aktivitas manusia maupun kegiatan industri dan manufaktur. Saat ini, emisi karbon menjadi kontributor utama penyumbang terjadinya perubahan iklim dan pemanasan bersamaan dengan emisi Gas Rumah Kaca (GRK). Keduanya menyebabkan naiknya suhu bumi atau efek rumah kaca.

Kontribusi dibidang alat telekomunikasi dan informasi terhadap jejak karbon global akan terus meningkat setiap tahunnya. Di tahun 2020 saja mencapai 3,5% dan diperkirakan akan mengalami kenaikan yang signifikan sebesar 14% di tahun 2040. Itu baru dari sektor telekomunikasi belum lagi sektor lainnya. Sebuah kendaraan bermotor saja dapat menghasilkan emisi sebesar 4,6 metrik ton karbon dioksida per tahunnya. Ini baru satu kendaraan belum dikalikan dengan jumlah kendaraan pribadi yang ada di Indonesia. 

Pembukaan lahan akibat industri penambangan dan ekstraktif lainnya saja bisa menghasilkan 2,6 juta metrik ton karbon dioksida atau setara dengan sepertiga dari emisi karbon yang dihasilkan oleh bahan bakar fosil. Selain itu, pembakaran sampah juga menjadi penyumbang emisi karbon karena 40-50% sampah terdiri dari massa karbon dan ironisnya sekitar 40% sampah dunia dibakar setiap harinya.

Dampak buruk dari emisi karbon turut menyertai kehidupan manusia di berbagai bidang. Di bidang lingkungan sendiri dampak emisi karbon yang nyata terlihat seperti meningkatnya suhu bumi, abrasi pantai, potensi banjir meningkat akibat curah hujan yang lebat, risiko terjadinya kebakaran hutan meningkat, mengganggu ekosistem sehingga berdampak pada keanekaragaman hayati dan lain sebagainya. Di bidang kesehatan dampak nya seperti timbulnya berbagai penyakit baru, terjadi masalah serius pada pernapasan serta risiko penularan penyakit menjadi lebih cepat. 

Lebih lanjut lagi, emisi karbon juga berdampak pada sektor ekonomi seperti gagal panen sehingga menyebabkan produktivitas pangan terganggu, kerusakan infrastruktur, pengurangan populasi dan sulitnya pengembangan sumberdaya bahkan dapat mempengaruhi stabilitas sistem keuangan negara secara makro. Dari sini terlihat bahwa dampak emisi karbon sangat banyak dan mempengaruhi berbagai lini sektor kehidupan serta menjadi kontributor utama perusak bumi.

Infografis Emisi Karbon (Sumber: Lindungi Hutan)
Infografis Emisi Karbon (Sumber: Lindungi Hutan)

Aksi Nyata #BersamaBergerakBerdaya Persembahan #UntukmuBumiku

Tentu kita tidak mau hidup dengan keadaan bumi yang terus memburuk seperti ini. Untuk itu diperlukan aksi nyata yang sudah seharusnya kita lakukan bersama. Saya lebih senang membagi aksi nyata tersebut ke dalam 3 level yaitu level individu (masyarakat), level korporasi dan level negara.

1.  Level Individu (Masyarakat)

Kita tahu bahwa setiap individu mempunyai kepentingan yang berbeda-beda. Tetapi dalam menjalankan kehidupan sehari-hari setiap individu pasti melakukan kegiatan yang bersinggungan dengan lingkungan. Dari mulai bangun tidur hingga tidur lagi di malam hari, segala kegiatannya tidak terlepas dari menghasilkan suatu emisi. Tak jarang pula emisi yang dihasilkan pun mengandung karbon. Jadi dapat dipahami bahwa setiap aktivitas yang kita lakukan pasti menghasilkan emisi dan kita tidak dapat menghindari hal tersebut. Akan tetapi, kita dapat meminimalisir jumlah emisi yang dikeluarkan melalui kegiatan yang kita lakukan sehari-hari seperti :

  • Menanam pohon untuk membantu kembali menyerap emisi karbon yang kita hasilkan
  • Memprioritaskan penggunaan transportasi umum dibandingkan kendaraan pribadi
  • Meminimalisir penggunaan plastik, karena plastik termasuk jenis sampah yang sulit terurai secara alami
  • Hemat menggunakan energi dengan mematikan peralatan yang menggunakan listrik jika sedang tidak dipakai seperti AC, charger, rice cooker, televisi, kipas angin dan lainnya
  • Efisien dalam penggunaan air bersih atau sesuai dengan kebutuhan
  • Menggunakan produk yang ramah lingkungan

Saya sendiri sebagai Ibu Rumah Tangga dari dua orang anak, penanaman nilai-nilai yang pro-environment kepada anggota keluarga sudah saya lakukan sejak dini. Penanaman nilai tersebut diwujudkan dengan kegiatan yang dilakukan sehari-hari seperti :

  • Menggunakan menstrual cup dibandingkan pembalut sekali pakai. Sebagai wanita tentu menstruasi akan dating setiap bulannya. Memang sih harga menstrual cup ini cukup mahal tetapi bisa dipakai sampai 10 tahun lamanya. Saya telah menggunakan menstrual cup ini selama 3 tahun belakangan. Memang mahal di awal, tetapi setiap bulannya saya tidak harus membeli pembalut sekali pakai dan tentu bisa mengurangi sampah/limbah hasil pembalut yang juga sulit terurai.
  • Menggunakan popok clodi (cloth diaper) kepada kedua anak saya sejak mereka baru lahir hingga berumur 18 bulan. Selain lebih hemat dan ramah lingkungan, clodi juga menghindarkan anak dari penyakit ruam popok.
  • Selalu membawa botol minum (tumblr) dan tas kain jika berpergian untuk mengurangi sampah plastik.
  • Memanfaatkan barang bekas untuk mainan anak-anak dan mengolah makanan sisa untuk dimasak menjadi suatu makanan atau kreasi yang lain sehingga pembuangan dapat diminimalisir jumlahnya.

Hal kecil yang sudah saya lakukan untuk mengatasi perubahan iklim (Sumber:DokPri) 
Hal kecil yang sudah saya lakukan untuk mengatasi perubahan iklim (Sumber:DokPri) 

2. Level Korporasi

  • Menjalankan operasi kegiatan perusahaan dengan berprinsip pada sustainable yaitu memanfaatkan sumber daya yang ada secukupnya untuk kegiatan ekonomi dengan dampak lingkungan yang minimum
  • Membuat inovasi berbagai produk yang ramah lingkungan
  • Menggunakan energi yang ramah lingkungan untuk mengurangi jumlah emisi karbon yang dikeluarkan

3. Level Negara

  • Membuat regulasi atau peraturan yang mendukung pemeliharaan dan pemulihan lingkungan dalam skala nasional
  • Memberikan sanksi tegas kepada pelaku bisnis yang tidak mengindahkan kelestarian lingkungan dalam kegiatan operasionalnya
  • Memberikan insentif kepada produk-produk yang ramah lingkungan agar meningkatkan demand masyarakat untuk membelinya
  • Mendorong akselerasi penggunaan energi bersih melalui Energy Transition Mechanism (ETM) dan Just Energy Transition Partnership (JETP)

Ketika ketiga level ini dapat bersinergi bersama diharapkan dapat tercipta aksi nyata #BersamaBergerakBerdaya sebagai persembahan #UntukmuBumiku. Persoalan perubahan iklim bukanlah hal kecil yang dapat diselesaikan oleh segelintir orang. Namun, telah menjadi isu global yang dibutuhkan kerjasama antar pihak mulai dari level terkecil seperti individu hingga kerjasama antar negara. Oleh karenanya, dibutuhkan aksi kolektif yang melibatkan seluruh pihak untuk sama-sama berjalan memperbaiki kondisi bumi karena tanpa adanya #BersamaBergerakBerdaya tidak mungkin kita dapat memberikan yang terbaik #UntukmuBumiku. Hal ini sejalan dengan teori yang pernah saja pelajari sewaktu kuliah dulu yaitu Collective Action Theory. Teori ini menjelaskan bahwa suatu kelompok akan melakukan aksi bersama ketika mereka mempunyai tujuan dan visi yang sama pula. Artinya, baik individu, korporasi maupun negara memiliki tujuan sama yaitu untuk memulihkan kondisi bumi sehingga segala tindakan yang dilakukan haruslah berorientasi pada nilai-nilai yang pro-lingkungan.

Jika Aku Menjadi Sang Regulator 

 Menjadi regulator atau pembuat kebijakan mungkin bukan impian bagi banyak orang. Ada sekelompok orang yang memilih untuk pasif dan menerima saja apa yang ada. Namun, jika saya diberi kesempatan untuk menjadi pembuat kebijakan yang bertujuan untuk mengurangi mitigasi risiko perubahan iklim saya akan melakukan beberapa hal. 

Pertama, membenahi sistem transportasi umum sebagai upaya untuk mengurangi jumlah orang yang menggunakan kendaraan pribadi. Kita tahu bahwa jumlah emisi karbon yang dihasilkan dari kendaraan bermotor bisa mencapai jutaan metrik top setiap tahunnya. Bayangkan jika emisi yang dihasilkan terus meningkat hingga kita tidak bisa bernafas dengan lega karena polusi dari asap kendaraan telah mencemari udara. Karenanya, dibutuhkan transportasi umum yang terintegrasi dan mudah digunakan oleh seluruh lapisan masyarakat. Saya sendiri menganggap bahwa kebijakan pemerintah untuk memberikan insentif kepada pasar yang ingin membeli kendaraan listrik kurang tepat karena hanya akan meningkatkan demand masyarakat untuk membeli produk tersebut sebagai mobil pribadi. Seharusnya, insentif tersebut diberikan kepada pelaku bisnis yang mau mengembangkan sistem transportasi umum berbasis listrik sehingga dapat lebih efisien dan efektif dalam mengurangi jumlah emisi karbon yang dihasilkan.

Kedua, memberikan insentif kepada seluruh pelaku bisnis yang mau bertindak pro-environment dan menggunakan energi yang lebih ramah lingkungan. Seringkali, pendanaan menjadi masalah utama bagi pelaku bisnis dalam menjalankan kegiatan perekonomiannya. Saat ini, sudah banyak kebijakan baik dari pemerintah maupun Bank Indonesia (BI) sebagai bank sentral yang mendorong terciptanya keuangan hijau (green economy) dengan membiayai proyek-proyek yang bersifat rendah emisi. Kebijakan itu diharapkan dapat menstimulasi para pelaku bisnis untuk bertransisi ke arah yang lebih ramah lingkungan. Ketiga, memperkuat hukum yang melindungi hak-hak bagi masyarakat adat sebagai garda terdepan dalam mitigasi perubahan iklim.

Masyarakat Adat, Garda Terdepan yang Sering Terlupakan

Sewaktu saya bekerja di perusahaan konsultan PR yang fokus di bidang lingkungan, saya pernah ditunjuk untuk menjadi koordinator acara Peduli Hutan yang diselenggarakan di Sorong, Papua Barat. Saat itu, saya harus merasakan menjadi orang lokal dan hidup disana selama satu minggu. Mulai dari makan sagu, mengelola hasil hutan untuk dijual, memburu hewan untuk dimakan hingga merasakan tidur beralaskan tikar yang mereka jahit sendiri. Pengalaman itu sungguh tak terlupakan dan membuat saya sadar bahwa Masyarakat Adat lah sebagai garda terdepan dalam menangani perubahan iklim. Loh kok bisa begitu?

Masyarakat adat atau masyarakat hukum adat ialah masyarakat yang tinggal di pedalaman, umumnya berada di kawasan hutan dan memegang nilai-nilai tradisional yang diturunkan secara turun temurun oleh nenek moyang mereka. Berbagai nilai tradisional tersebut selaras dengan pelestarian lingkungan, mereka menganggap bahwa alam itu seperti 'tuhan' mereka yang harus dijaga dan tidak boleh dirusak. Mereka sangat mempedulikan kelestarian lingkungan dengan mengambil hasil alam "secukupnya" untuk hajat orang banyak. Walaupun hidup mereka jauh dari kecanggihan teknologi tetapi mereka sangat berperan dalam menjaga kelestarian lingkungan hidup kita.

Bahkan, Presiden Joko Widodo pada pidatonya di COP21 Paris menyatakan pelibatan masyarakat adat penting dalam mengatasi perubahan iklim karena hutan adat menyimpan 20% karbon hutan tropis dunia. Hutan adat di Indonesia telah berkontribusi menjaga karbon sebesar 32,7 Gigaton atau setara dengan 46% dari total pengurangan emisi secara global. Masyarakat adat yang mengusung norma hidup menjaga kelestarian sumber daya alam dan keanekaragaman hayati, merupakan garda terdepan dalam pemenuhan target Indonesia menurunkan emisi gas rumah kaca sebesar 29% pada tahun 2030 guna mencegah krisis iklim. Namun sayangnya, eksistensi mereka saat ini justru terancam karena semakin banyaknya perusahaan yang mengambil alih kedaulatan hak atas tanah mereka dan perusakan kawasan hutan secara massal untuk pembangunan proyek. Oleh karena itu, diperlukan undang-undang yang mengatur hak masyarakat adat secara inklusif agar mereka mendapat perlindungan dan perlakuan yang adil. Karena sejatinya, sebagai penjaga alam terbaik, suara masyarakat adat penting didengar oleh publik dan para pengambil kebijakan.

Gambar Anak Ketua Masyarakat Adat di Desa Kampung Sbaga, Distrik Klaso, Sorong, Papua Barat (Sumber: DokPri)
Gambar Anak Ketua Masyarakat Adat di Desa Kampung Sbaga, Distrik Klaso, Sorong, Papua Barat (Sumber: DokPri)

Paradigma Anti-Mainstream Sebagai Kunci Keberhasilan Atasi Perubahan Iklim 

Semua orang setuju bahwa perubahan iklim menjadi isu krusial global yang harus segera ditangani bersama. Bahkan isu tersebut masuk ke dalam agenda prioritas pada pertemuan G20 tahun 2022 silam. Terdapat 7 prioritas isu perubahan iklim yang dibahas pada forum G20 (Environment Deputy Minister -- Climate Sustainability Working Group) yaitu: (1) kerusakan lahan; (2) kehilangan keanekaragaman hayati; (3) sampah di laut; (4) pengelolaan air; (5) konsumsi berkelanjutan dan efisiensi sumber daya; (6) keuangan berkelanjutan; dan (7) perlindungan laut. Jika kita menilik lebih dalam dari 7 prioritas isu tersebut sebenarnya semua bersumber pada satu akar masalah yaitu paradigma ekonomi yang kurang tepat. Mengapa ekonomi? karena setiap aktivitas ekonomi yang kita lakukan pasti akan berkaitan dengan lingkungan dan ketika kita mempunyai paradigma ekonomi yang tidak sejalan dengan prinsip lingkungan maka lingkungan tersebut pun akan ikut rusak.

Seorang Profesor bernama Kate Raworth menginisiasi sebuah paradigma ekonomi baru yaitu circular economy -- suatu paradigma anti-mainstream yang menawarkan pertumbuhan ekonomi tidak hanya dilihat dari PDB suatu negara saja tapi juga memperhitungkan nilai produk, bahan dan sumber daya dalam perekonomian selama mungkin, sehingga meminimalkan kerusakan sosial dan lingkungan yang disebabkan oleh pendekatan ekonomi linier. Sederhananya, paradigma ini menekankan bahwa kita boleh mengambil sumber daya dari alam untuk kegiatan ekonomi tetapi secukupnya saja (tidak boleh berlebihan), kemudian mengolahnya menjadi suatu produk yang sustainable serta memastikan bahwa produk tersebut terdistribusi secara merata. Ia juga menjelaskan bahwa model ekonomi yang dapat mendukung mitigasi perubahan iklim adalah model ekonomi donat. 

Ekonomi donat ini muncul sebagai jawaban atas krisis alam yang terus terjadi karena model ekonomi klasik yang mementingkan pertumbuhan linear. Kita tidak bisa terus menerus menggunakan ekonomi klasik karena ada saatnya nanti bumi kita akan hancur karena kegiatan ekonomi yang tidak memperhatikan lingkungan. Layaknya sebuah kue donat, lingkaran yang pertama adalah lingkaran yang berada di bagian dalam yang menggambarkan sumber daya yang cukup bagi manusia untuk memiliki kehidupan yang baik. 

Adapun yang menjadi elemen dalam lingkaran dalam tersebut adalah makanan, air bersih, tempat tinggal, sanitasi, energi, pendidikan, pelayanan kesehatan, dan demokrasi. Lingkaran yang kedua berada di bagian terluar donat. Lingkaran tersebut menggambarkan batasan-batasan alam yang dimiliki oleh bumi seperti potensi terjadinya krisis perubahan iklim, polusi air, penipisan ozon, punahnya spesies dan serangan-serangan lingkungan lainnya. 

Ruang yang terdapat di antara kedua lingkaran tersebut, yang mana adalah donat itu sendiri, adalah ruang yang aman secara ekologis dan adil secara sosial. Di ruang tersebutlah umat manusia harus berjuang untuk dapat hidup. Tujuan ekonomi seharusnya dapat membantu manusia untuk memasuki ruang tengah dan tinggal di sana. Model ekonomi donat memungkinkan kita untuk melihat secara komprehensif dan menemukenali di mana posisi kita berada. Kecenderungan saat ini adalah umat manusia yang telah melampaui kedua lingkaran, baik dalam maupun luar. Miliaran orang masih hidup di lingkaran dalam, dan tentu aktivitas sehari-hari telah membawa kita melampaui lingkaran terluar dan membahayakan kelestarian bumi. Untuk mengetahui penjelasan lebih lanjut tentang ekonomi sirkular dan ekonomi donat ini kalian bisa menonton video nya disini ya.

Gambar Ekonomi Sirkular (Sumber: Bappenas RI)
Gambar Ekonomi Sirkular (Sumber: Bappenas RI)
Gambar Ekonomi Donat (Sumber: Edie.net)
Gambar Ekonomi Donat (Sumber: Edie.net)
Tentu saja paradigma ini masih sangat baru dan belum banyak orang tahu atau bahkan menerapkannya di Indonesia. Namun, kita bisa melihat bahwa paradigma anti-mainstream ini dapat menjadi solusi yang tepat untuk memulihkan kondisi bumi kita yang sekarang tidak sedang baik-baik saja. Paradigma sebagai suatu keyakinan atau kepercayaan yang mendasari seseorang dalam melakukan suatu tindakan menjadi pedoman dasar bahkan hingga mempengaruhi kita dalam mengambil keputusan sehari-hari. Contoh sederhananya, ketika kita dihadapkan pilihan untuk membeli kulkas seharga 4 juta rupiah tapi mempunyai daya listrik yang boros vs kulkas seharga 8 juta rupiah tapi mempunyai daya efisiensi yang tinggi (hemat listrik) mana yang harus kita pilih?. Jika kita memegang paradigma yang tepat dalam hal ini pro-lingkungan tentu kita akan memilih untuk membeli kulkas yang lebih mahal 2x lipat tetapi kedepannya tagihan listrik kita akan lebih murah dan akan lebih awet dipakai sampai bertahun-tahun lamanya. Hal ini tentu akan menghemat pengeluaran kita perbulannya. Memang lebih mahal diawal, tetapi kedepannya akan jauh lebih hemat dan long-lasting. Analogi sederhana seperti itu lah sebenarnya yang bisa menggambarkan kita tentang bagaimana pengaruh paradigma terhadap pilihan hidup kita, termasuk pula soal transisi energi yang saat ini sedang digalakkan oleh pemerintah Indonesia. Melakukan transisi energi memang membutuhkan biaya yang tidak sedikit, akan tetapi ketika hal itu sudah tercapai tentu negara kita akan jauh lebih hemat dalam cost pengeluaran energi, jauh lebih ramah lingkungan sehingga mitigasi risiko perubahan iklim pun dapat dilakukan dengan baik. Untuk itu kita perlu #BersamaBergerakBerdaya demi mempersembahkan yang terbaik #UntukmuBumiku.

Kalau #BersamaBergerakBerdaya versi kalian apa nih? Boleh dong tulis di kolom komentar ya!


Referensi :

https://maritim.bmkg.go.id/glossaries/64/El-Ni%C3%B1o-Southern-Oscillation-ENSO 

https://www.mongabay.co.id/2021/10/16/masyarakat-adat-krisis-iklim-dan-konflik-pembangunan-bagaimana-solusinya/ 

https://www.handalselaras.com/mengenal-doughnut-economy-konsep-ekonomi-yang-penuh-kebaikan-untuk-pertumbuhan-kota/ 

https://lindungihutan.com/blog/emisi-karbon/

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Alam & Tekno Selengkapnya
Lihat Ilmu Alam & Tekno Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun