Pramoedya menulis, “Seorang terpelajar harus sudah berbuat adil sejak dalam pikiran, apalagi dalam perbuatan” (Pramoedya Ananta Toer, Bumi Manusia, 1980). Kalimat itu sering kami diskusikan dan menjadi semacam mantra bagi kami dalam menjalankan aktivitas intelektual.
Buletin Renaisans tidak hanya menjadi media mengekspresikan pemikiran, tapi juga ruang belajar. Setiap esai yang ditulis adalah hasil dari proses membaca, berdiskusi, dan merefleksikan realitas. Kami tidak hanya membicarakan teori-teori besar, tapi juga isu-isu konkret yang terjadi di sekitar kami.
Misalnya, kami pernah menulis mengenai "Kenaikan BBM dan Sialnya Punya MUI", pendidikan yang tidak merata, korupsi MTQ di tingkat lokal kampus, dan “hardikan” buat Presiden Bush agar tidak menyulut perang. Tulisan-tulisan itu mungkin tidak sempurna, tapi ia lahir dari proses yang jujur dan penuh semangat.
Salah satu tantangan terbesar dalam menerbitkan Renaisans adalah keterbatasan sumber daya. Semua dilakukan secara swadaya, dari mencetak sampai mendistribusikan. Tapi justru di situlah letak keunikan buletin ini.
Buletin Renaisans tidak lahir dari dana besar atau tim profesional, tapi dari semangat gotong royong dan kemandirian. Setiap kali buletin terbit, itu adalah hasil dari kerja keras dan dedikasi banyak orang. Kami mungkin tidak punya banyak uang, tapi punya banyak ide dan semangat.
Tradisi diskusi dan menulis seperti yang kami lakukan di Renaisans sebenarnya bukan hal baru. Sejarah mencatat bahwa banyak gerakan intelektual lahir dari ruang-ruang diskusi semacam ini. Misalnya, pada awal abad ke-20, para pemuda Indonesia sering berkumpul di ruang-ruang baca dan mendiskusikan gagasan-gagasan baru.
Mereka membaca karya-karya dari dunia Barat, tapi juga menggali khazanah lokal. Dari sanalah lahir kesadaran kebangsaan yang akhirnya mengantarkan Indonesia ke gerbang kemerdekaan (M.C. Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern 1200–2008, 2008).
Sayangnya, tradisi diskusi dan menulis seperti ini semakin tergerus oleh zaman. Di era digital, orang lebih suka mengonsumsi informasi secara instan. Diskusi-diskusi mendalam seringkali tergantikan oleh debat kusir di media sosial.
Padahal, diskusi dan menulis adalah cara mengasah kemampuan berpikir kritis. Seperti kata Pramoedya, “Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah” (Pramoedya Ananta Toer, Sang Pemula, 1985).