Mohon tunggu...
Beryn Imtihan
Beryn Imtihan Mohon Tunggu... Konsultan - Penikmat Kopi

Saat ini mengabdi pada desa. Kopi satu-satunya hal yang selalu menarik perhatiannya...

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Renaisans: Jejak Intelektual Mahasiswa yang Terinspirasi Pramoedya Ananta Toer

2 Februari 2025   11:07 Diperbarui: 2 Februari 2025   14:50 76
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Buletin Renaisans (sumber: dokpri)

Setiap kali mengingat buletin Renaisans, saya selalu teringat pada semangat muda yang menggebu-gebu. Buletin itu lahir dari ruang diskusi kecil di antara mahasiswa, yang terinspirasi oleh karya-karya Pramoedya Ananta Toer. Kami waktu itu tidak punya banyak sumber daya, tapi punya banyak mimpi. Renaisans adalah bukti bahwa mimpi-mimpi itu bisa diwujudkan, meski dengan cara yang sederhana dan serba swadaya.

Awalnya, semua berawal dari seorang kawan, Dedy Muztahdi, yang kami panggil “Ended”. Dialah yang pertama kali memperkenalkan karya-karya Pramoedya ke dalam lingkaran kami. Ended membawa novel-novel seperti Bumi Manusia, Rumah Kaca, dan Anak Semua Bangsa.

Kami membaca, bertukar pikiran, dan mendiskusikannya hingga larut malam. Diskusi itu bukan sekadar obrolan ringan, melainkan pergulatan pemikiran yang mendalam. Kami membicarakan tentang ketidakadilan, penindasan, dan semangat perlawanan yang terangkum dalam karya-karya Pram. Diskusi itu berlangsung selama lebih dari dua tahun, dan dari sanalah benih-benih Renaisans mulai bertumbuh.

Buletin Renaisans adalah kumpulan esai yang ditulis oleh mahasiswa. Setiap tulisan mencerminkan pergulatan pemikiran kami terhadap berbagai isu sosial, politik, dan kebudayaan. Rencananya, buletin ini terbit sekali sebulan.

Tapi, seperti halnya banyak inisiatif swadaya, jadwal terbit sering molor. Kami tidak punya dana besar, tidak punya tim profesional, dan semua dilakukan secara gotong royong. Tapi justru di situlah letak kekuatannya. Renaisans adalah buletin yang lahir dari semangat kemandirian dan kebersamaan.

Kami tidak hanya berdiskusi di ruang tertutup. Tiga kali kami berkunjung ke kediaman Pramoedya Ananta Toer di Utan Kayu, Jakarta Timur. Bertemu langsung dengan sosok yang karyanya begitu memengaruhi pemikiran kami adalah pengalaman yang tak terlupakan.

Pramoedya bukan sekadar sastrawan, tetapi juga seorang pemikir kritis dan pejuang gigih. Ia mengajarkan bahwa menulis bukan hanya kegiatan intelektual, melainkan juga bentuk perlawanan terhadap ketidakadilan.

Pada ulang tahun kedua Renaisans (2000), kami mengundangnya sebagai pembicara. Namun, ia justru meminta kami datang ke rumahnya agar ia tak perlu keluar. Permintaan itu terasa unik, tetapi tetap menjadi kesempatan berharga untuk berdiskusi langsung dengannya.

Sayangnya, tidak ada dokumentasi yang tersisa dari momen-momen berharga itu. Waktu itu, kami menganggap hal-hal seperti itu tidak penting. Tapi sekarang, saya sadar bahwa dokumentasi adalah cara mengabadikan sejarah.

Pramoedya Ananta Toer, melalui karya-karyanya, mengajarkan kami tentang pentingnya kesadaran sosial. Dalam Bumi Manusia, misalnya, Pram menggambarkan bagaimana kolonialisme tidak hanya menindas secara fisik, tapi juga mental. Tokoh Minke, yang terinspirasi dari sosok Tirto Adhi Soerjo, adalah representasi dari semangat kebangkitan intelektual.

Pramoedya menulis, “Seorang terpelajar harus sudah berbuat adil sejak dalam pikiran, apalagi dalam perbuatan” (Pramoedya Ananta Toer, Bumi Manusia, 1980). Kalimat itu sering kami diskusikan dan menjadi semacam mantra bagi kami dalam menjalankan aktivitas intelektual.

Buletin Renaisans tidak hanya menjadi media mengekspresikan pemikiran, tapi juga ruang belajar. Setiap esai yang ditulis adalah hasil dari proses membaca, berdiskusi, dan merefleksikan realitas. Kami tidak hanya membicarakan teori-teori besar, tapi juga isu-isu konkret yang terjadi di sekitar kami.

Misalnya, kami pernah menulis mengenai "Kenaikan BBM dan Sialnya Punya MUI", pendidikan yang tidak merata, korupsi MTQ di tingkat lokal kampus, dan “hardikan” buat Presiden Bush agar tidak menyulut perang. Tulisan-tulisan itu mungkin tidak sempurna, tapi ia lahir dari proses yang jujur dan penuh semangat.

Tulisan tentang
Tulisan tentang "Naiknya Harga BBM dan Sialnya Punya MUI" (sumber: dokpri)

Salah satu tantangan terbesar dalam menerbitkan Renaisans adalah keterbatasan sumber daya. Semua dilakukan secara swadaya, dari mencetak sampai mendistribusikan. Tapi justru di situlah letak keunikan buletin ini.

Buletin Renaisans tidak lahir dari dana besar atau tim profesional, tapi dari semangat gotong royong dan kemandirian. Setiap kali buletin terbit, itu adalah hasil dari kerja keras dan dedikasi banyak orang. Kami mungkin tidak punya banyak uang, tapi punya banyak ide dan semangat.

Tradisi diskusi dan menulis seperti yang kami lakukan di Renaisans sebenarnya bukan hal baru. Sejarah mencatat bahwa banyak gerakan intelektual lahir dari ruang-ruang diskusi semacam ini. Misalnya, pada awal abad ke-20, para pemuda Indonesia sering berkumpul di ruang-ruang baca dan mendiskusikan gagasan-gagasan baru.

Mereka membaca karya-karya dari dunia Barat, tapi juga menggali khazanah lokal. Dari sanalah lahir kesadaran kebangsaan yang akhirnya mengantarkan Indonesia ke gerbang kemerdekaan (M.C. Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern 1200–2008, 2008).

Sayangnya, tradisi diskusi dan menulis seperti ini semakin tergerus oleh zaman. Di era digital, orang lebih suka mengonsumsi informasi secara instan. Diskusi-diskusi mendalam seringkali tergantikan oleh debat kusir di media sosial.

Padahal, diskusi dan menulis adalah cara mengasah kemampuan berpikir kritis. Seperti kata Pramoedya, “Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah” (Pramoedya Ananta Toer, Sang Pemula, 1985).

Headline
Headline "Bush Jangan Berperang" (sumber: dokpri)

Buletin Renaisans mungkin tidak akan pernah terkenal. Tapi bagi kami, ia adalah simbol dari semangat kebangkitan intelektual. Ia mengingatkan kami bahwa perubahan besar selalu dimulai dari hal-hal kecil. Dari ruang diskusi, dari tulisan-tulisan sederhana, dan dari semangat swadaya. Renaisans adalah bukti bahwa mimpi-mimpi itu bisa diwujudkan, asal ada kemauan dan tekad yang kuat.

Kini, setiap kali melihat buletin-buletin mahasiswa yang masih bertahan, saya selalu teringat pada Renaisans. Saya berharap semangat itu terus hidup, karena di tangan merekalah masa depan bangsa ini ditentukan. Seperti kata Pramoedya, “Menulis adalah bekerja untuk keabadian.” Dan Renaisans, dalam caranya sendiri, telah mengabadikan semangat kami.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun