Beberapa waktu lalu, sebuah klaim menarik perhatian publik. Disebutkan bahwa setiap warga Indonesia bisa mendapatkan 6,4 ton emas jika cadangan bijih emas di Papua dibagi rata. Klaim ini terdengar fantastis, tetapi apakah hitungannya benar?
Narasi ini muncul berdasarkan laporan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM). Laporan tersebut menyatakan bahwa Papua memiliki 1,9 miliar ton bijih emas atau sekitar 52% dari total cadangan bijih emas nasional pada tahun 2020 (ESDM, 2020).
Angka ini kemudian dihitung ulang oleh beberapa pihak dengan asumsi bahwa 1,9 miliar ton bijih emas sama dengan 1,9 miliar ton emas murni. Dari sini, muncul kesimpulan bahwa jika jumlah tersebut dibagi ke 250 juta penduduk, setiap orang mendapatkan 6,4 ton emas.
Namun, ada kekeliruan mendasar dalam logika ini. Bijih emas bukan emas murni. Bijih emas adalah batuan yang mengandung emas dalam jumlah kecil. Untuk mendapatkan emas murni, bijih harus diolah melalui proses ekstraksi yang kompleks (Crane et al., 2019).
Dalam industri pertambangan, kadar emas dalam bijih bervariasi, tetapi umumnya berkisar 1-2 gram per ton bijih. Sebagai contoh, tambang Grasberg di Papua memiliki kadar emas sekitar 2 gram per ton (Freeport Indonesia, 2022).
Dengan asumsi kadar emas 2 gram per ton, jumlah emas murni yang dapat diperoleh dari 1,9 miliar ton bijih adalah 3.800 ton emas. Jika angka ini dibagi rata untuk 250 juta penduduk, hasilnya adalah 15,2 gram emas per orang.
Angka ini jauh dari klaim awal yang menyebut setiap orang bisa mendapatkan 6,4 ton emas. Kenyataannya, jika cadangan emas Papua dibagi rata, setiap orang hanya memperoleh seukuran cincin emas.
Selain itu, tidak semua cadangan bijih emas bisa ditambang. Ada perbedaan antara cadangan terbukti dan cadangan terduga. Cadangan terbukti adalah emas yang sudah bisa dieksploitasi dengan teknologi saat ini.
Sementara itu, cadangan terduga masih membutuhkan eksplorasi lebih lanjut. Menurut laporan United States Geological Survey (USGS), hanya sekitar 30-40% cadangan bijih yang benar-benar bisa diekstraksi (USGS, 2021).
Faktor ekonomi juga berperan besar. Menambang emas membutuhkan investasi besar, peralatan canggih, dan tenaga ahli. Jika harga emas turun atau biaya produksi lebih tinggi dari hasilnya, maka penambangan bisa dihentikan.
Dampak lingkungan dan sosial juga perlu dipertimbangkan. Proses ekstraksi emas menggunakan bahan kimia seperti sianida dan merkuri, yang berisiko mencemari tanah dan air (Hilson & Van Der Vorst, 2002).
Dalam banyak kasus, aktivitas tambang juga menyebabkan konflik sosial dengan masyarakat sekitar. Di beberapa daerah, pertambangan emas ilegal bahkan memperburuk situasi dengan merusak lingkungan tanpa memberikan manfaat ekonomi yang adil.
Oleh karena itu, membayangkan bahwa setiap warga Indonesia bisa mendapatkan berton-ton emas adalah sesuatu yang tidak realistis. Narasi ini hanya menyederhanakan masalah tanpa memahami kompleksitas industri pertambangan.
Sejarah mencatat bahwa klaim bombastis semacam ini sering kali digunakan sebagai alat manipulasi opini publik. Pada 1997, pemerintah Brazil pernah mengklaim memiliki cadangan emas besar di hutan Amazon.
Namun, setelah penelitian lebih lanjut, ditemukan bahwa jumlah emas yang bisa ditambang jauh lebih kecil dari perkiraan awal. Kasus serupa juga terjadi di beberapa negara Afrika yang akhirnya menghadapi krisis ekonomi akibat eksploitasi sumber daya yang tidak terkendali (Auty, 2001).
Dalam konteks Indonesia, kita seharusnya lebih kritis terhadap angka-angka besar yang disajikan tanpa dasar ilmiah. Data tentang sumber daya alam memang penting, tetapi harus dianalisis dengan metode yang benar.
Publik juga harus lebih berhati-hati dalam menyebarkan informasi yang belum terverifikasi. Di era digital, banyak klaim viral yang sebenarnya tidak memiliki dasar fakta yang kuat.
Di sisi lain, pemerintah perlu lebih transparan dalam mengelola informasi mengenai sumber daya alam. Data tentang tambang emas di Papua seharusnya tidak hanya digunakan untuk kepentingan politik atau ekonomi sesaat.
Pembangunan berbasis sumber daya alam harus mempertimbangkan keberlanjutan. Jika dikelola dengan baik, kekayaan emas di Papua bisa menjadi modal pembangunan jangka panjang, bukan sekadar angka besar di atas kertas.
Pemerintah juga harus memastikan bahwa manfaat ekonomi dari industri pertambangan benar-benar dirasakan oleh masyarakat setempat. Selama ini, banyak daerah tambang yang justru tetap miskin meskipun memiliki sumber daya melimpah.
Ini karena keuntungan besar dari pertambangan sering kali hanya mengalir ke perusahaan besar dan elit tertentu. Jika tidak ada kebijakan yang adil, masyarakat sekitar tambang hanya menjadi penonton.
Dalam kajian ekonomi, fenomena ini dikenal sebagai kutukan sumber daya alam. Banyak negara kaya tambang justru mengalami ketimpangan ekonomi yang tajam dan ketergantungan terhadap komoditas ekspor (Sachs & Warner, 1995).
Indonesia harus belajar dari pengalaman negara lain. Kekayaan emas di Papua seharusnya menjadi alat untuk membangun ekonomi yang lebih kuat dan inklusif, bukan sekadar bahan klaim bombastis di media sosial.
Jadi, sebelum kita bermimpi menjadi miliarder emas dan menyuruh orang Dubai minggir, ada baiknya kita menghitung ulang dengan logika yang benar. Karena dalam ekonomi, angka besar tidak selalu berarti kesejahteraan.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI