Mohon tunggu...
Beryn Imtihan
Beryn Imtihan Mohon Tunggu... Konsultan - Penikmat Kopi

Saat ini mengabdi pada desa. Kopi satu-satunya hal yang selalu menarik perhatiannya...

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Polemik Pagar Laut Tangerang dan Kehidupan Nelayan Pesisir

29 Januari 2025   18:08 Diperbarui: 30 Januari 2025   07:05 149
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Keberadaan pagar laut di wilayah pesisir Tangerang telah menimbulkan polemik yang menyita perhatian publik. Pagar bambu sepanjang lebih dari 30 kilometer tersebut membentang dari Desa Muncung hingga Pakuhaji. 

Struktur ini diklaim bertujuan untuk menahan abrasi, tetapi pada praktiknya, ia justru menghalangi akses nelayan menuju area penangkapan ikan (Kompas.com, 27/01/2025).

Bagi nelayan tradisional di desa pesisir, laut adalah sumber penghidupan utama. Mereka menggantungkan hidup pada hasil tangkapan ikan setiap hari. Namun, keberadaan pagar laut ini menghambat perjalanan kapal mereka menuju laut lepas. 

Akibatnya, produktivitas nelayan menurun drastis. Beberapa di antaranya bahkan terpaksa mencari pekerjaan lain untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari (Pikiran Rakyat, 25/01/2025).

Dampak lain yang dirasakan adalah peningkatan biaya operasional nelayan. Pagar tersebut memaksa mereka menempuh rute yang lebih jauh, sehingga konsumsi bahan bakar meningkat. 

Kondisi ini menjadi beban tambahan di tengah fluktuasi harga bahan bakar dan minimnya dukungan subsidi. Nelayan kecil, yang hanya memiliki perahu berkapasitas kecil, menjadi pihak yang paling dirugikan.

Selain dampak ekonomi, kehadiran pagar laut ini juga merusak ekosistem pesisir. Sirkulasi air laut terganggu, menyebabkan sedimentasi di beberapa lokasi. 

Sedimentasi ini merusak habitat ikan dan biota laut lainnya. Jika terus dibiarkan, hal ini dapat mengancam keberlanjutan sumber daya laut di kawasan tersebut (Jurnal Ilmu Kelautan, 2023).

Proses pembongkaran pagar laut yang dimulai pada 18 Januari 2025 oleh pemerintah, TNI Angkatan Laut, dan masyarakat setempat merupakan langkah positif. Namun, tantangan di lapangan, seperti cuaca buruk dan kondisi fisik pagar yang kokoh, membuat proses ini berjalan lambat. 

Hingga kini, sebagian besar pagar masih berdiri, menghalangi nelayan dalam menjalankan aktivitasnya (Kompas.com, 27/01/2025).

Keberadaan pagar ini memunculkan pertanyaan besar terkait tata kelola ruang laut. Dalam konteks hukum, pagar ini dibangun tanpa izin resmi dari pemerintah, baik pusat maupun daerah. 

Ketidakjelasan pihak yang bertanggung jawab atas pembangunannya menambah kompleksitas persoalan (Republika, 20/012025).

Bagi desa pesisir, polemik ini menjadi refleksi atas tantangan besar dalam mengelola sumber daya alam. Desa-desa di pesisir sering kali terpinggirkan dalam pengambilan keputusan terkait wilayah laut. 

Padahal, masyarakat pesisir memiliki kearifan lokal yang dapat menjadi panduan dalam mengelola wilayah mereka secara berkelanjutan (Maritime Studies Journal, 2024).

Sebagai warga desa yang terdampak langsung, penting untuk menjaga solidaritas dan memperkuat dialog dengan pemerintah. Partisipasi aktif masyarakat dalam proses pengambilan keputusan dapat mencegah terulangnya kasus serupa. 

Di sisi lain, masyarakat desa juga perlu meningkatkan kapasitas mereka, terutama dalam memahami hak-hak mereka sebagai bagian dari pengelolaan ruang laut.

Bagi masyarakat luas, kasus ini menjadi pengingat akan pentingnya menjaga keseimbangan antara pembangunan infrastruktur dan keberlanjutan lingkungan. 

Masyarakat perlu mendukung langkah-langkah yang berorientasi pada pelestarian ekosistem pesisir. Selain itu, mendesak pemerintah untuk meningkatkan pengawasan terhadap pemanfaatan ruang laut menjadi tanggung jawab bersama.

Penting juga untuk menyoroti peran media dalam kasus ini. Media diharapkan mampu memberikan informasi yang akurat dan berimbang, sehingga masyarakat mendapatkan gambaran yang jelas mengenai situasi yang terjadi. 

Kasus pagar laut Tangerang mengajarkan kita pentingnya pengelolaan sumber daya alam yang adil dan transparan. Keberlanjutan hidup masyarakat pesisir harus menjadi prioritas dalam setiap kebijakan pembangunan di wilayah pesisir. 

Pemerintah perlu lebih mendengar aspirasi masyarakat desa untuk menciptakan kebijakan yang inklusif dan berorientasi pada kesejahteraan bersama.

Dalam jangka panjang, membangun sinergi antara masyarakat, pemerintah, dan akademisi menjadi langkah strategis untuk mengatasi tantangan ini. 

Melalui penelitian dan inovasi berbasis lokal, solusi yang lebih efektif dapat ditemukan untuk menjaga keberlanjutan ekosistem dan kesejahteraan masyarakat pesisir. Kasus pagar laut ini adalah pengingat bahwa pembangunan harus selalu berlandaskan prinsip keadilan sosial dan kelestarian lingkungan.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun