Keberadaan pagar ini memunculkan pertanyaan besar terkait tata kelola ruang laut. Dalam konteks hukum, pagar ini dibangun tanpa izin resmi dari pemerintah, baik pusat maupun daerah.Â
Ketidakjelasan pihak yang bertanggung jawab atas pembangunannya menambah kompleksitas persoalan (Republika, 20/012025).
Bagi desa pesisir, polemik ini menjadi refleksi atas tantangan besar dalam mengelola sumber daya alam. Desa-desa di pesisir sering kali terpinggirkan dalam pengambilan keputusan terkait wilayah laut.Â
Padahal, masyarakat pesisir memiliki kearifan lokal yang dapat menjadi panduan dalam mengelola wilayah mereka secara berkelanjutan (Maritime Studies Journal, 2024).
Sebagai warga desa yang terdampak langsung, penting untuk menjaga solidaritas dan memperkuat dialog dengan pemerintah. Partisipasi aktif masyarakat dalam proses pengambilan keputusan dapat mencegah terulangnya kasus serupa.Â
Di sisi lain, masyarakat desa juga perlu meningkatkan kapasitas mereka, terutama dalam memahami hak-hak mereka sebagai bagian dari pengelolaan ruang laut.
Bagi masyarakat luas, kasus ini menjadi pengingat akan pentingnya menjaga keseimbangan antara pembangunan infrastruktur dan keberlanjutan lingkungan.Â
Masyarakat perlu mendukung langkah-langkah yang berorientasi pada pelestarian ekosistem pesisir. Selain itu, mendesak pemerintah untuk meningkatkan pengawasan terhadap pemanfaatan ruang laut menjadi tanggung jawab bersama.
Penting juga untuk menyoroti peran media dalam kasus ini. Media diharapkan mampu memberikan informasi yang akurat dan berimbang, sehingga masyarakat mendapatkan gambaran yang jelas mengenai situasi yang terjadi.Â
Kasus pagar laut Tangerang mengajarkan kita pentingnya pengelolaan sumber daya alam yang adil dan transparan. Keberlanjutan hidup masyarakat pesisir harus menjadi prioritas dalam setiap kebijakan pembangunan di wilayah pesisir.Â
Pemerintah perlu lebih mendengar aspirasi masyarakat desa untuk menciptakan kebijakan yang inklusif dan berorientasi pada kesejahteraan bersama.