Era digital membawa kita pada dinamika baru, termasuk dalam praktik berbagi informasi tentang anak di media sosial. Fenomena ini, yang sering disebut sharenting (sharing parenting), telah menjadi isu global yang menimbulkan tantangan tersendiri, terutama terkait privasi anak. Di tengah arus ini, nilai-nilai tradisional seperti saling ajinang dari masyarakat Lombok dapat menjadi landasan yang relevan menjaga keseimbangan antara modernitas dan adat istiadat.
Saling ajinang merupakan nilai luhur yang mengajarkan penghormatan terhadap martabat setiap individu, tanpa memandang usia, status sosial, etnis, atau agama. Nilai ini tertanam dalam kehidupan masyarakat Sasak, mencerminkan penghormatan yang dalam terhadap hak-hak pribadi dan kolektif.
Dalam konteks sharenting, saling ajinang mengingatkan kita akan pentingnya menjaga martabat anak sebagai individu yang juga memiliki hak atas privasi. Banyak penelitian menunjukkan bahwa sharenting memberikan dampak jangka panjang terhadap anak, termasuk risiko eksploitasi digital, pencurian identitas, dan cyberbullying (Steinberg, 2017).
Orang tua sering kali tidak menyadari bahwa informasi yang mereka bagikan akan terus ada di internet, membentuk jejak digital yang sulit dihapus. Perspektif saling ajinang mengingatkan bahwa meskipun anak adalah bagian dari keluarga, mereka tetap memiliki hak untuk dihormati privasinya.
Nilai ini juga selaras dengan ajaran adat Sasak lainnya, seperti teguq (tanggung jawab) dan ra’i (empati). Orang tua yang memahami tanggung jawab digital akan berpikir dua kali sebelum membagikan foto atau informasi tentang anak mereka di media sosial.
Mereka akan mempertimbangkan perasaan anak di masa depan, sebagaimana dituntunkan dalam nilai ra’i. Empati ini menjadi wujud nyata penghormatan terhadap anak sebagai individu yang berhak memiliki ruang pribadi.
Budaya modern sering kali menuntut kita berbagi kehidupan sehari-hari di media sosial. Namun, budaya tradisional Lombok mengingatkan bahwa tidak semua hal layak dipublikasikan.
Dalam tradisi Sasak, penghormatan terhadap individu ditunjukkan melalui upacara adat dan kebiasaan sehari-hari yang penuh kehati-hatian. Hal ini dapat diterjemahkan dalam era digital sebagai kontrol atas apa yang kita bagikan tentang anak-anak kita.
Banyak studi menyebutkan bahwa sharenting sering kali didorong oleh keinginan orang tua menunjukkan pencapaian keluarga atau berbagi kebahagiaan (Ouvrein & Verswijvel, 2019).
Meski demikian, perspektif saling ajinang menekankan pentingnya menahan diri. Menghormati anak berarti memahami bahwa kebahagiaan mereka tidak harus selalu diwakili melalui unggahan di dunia maya.
Selain itu, saling ajinang dapat menjadi landasan dalam membangun kesadaran kolektif komunitas desa. Dalam tradisi masyarakat Lombok, komunitas memegang peranan penting menjaga keharmonisan sosial.
Kesadaran bersama tentang bahaya sharenting dapat difasilitasi melalui kegiatan pengajian (majelis taklim), atau musyawarah desa. Pendekatan ini menghidupkan kembali semangat besemeton (persaudaraan) dan bedadayan (kerja sama) dalam melindungi anak-anak dari dampak negatif dunia digital.
Pengalaman masyarakat Lombok menunjukkan bahwa adat dapat menjadi perisai terhadap modernitas yang berlebihan. Misalnya, dalam tradisi pernikahan Sasak, semua keputusan besar melibatkan diskusi keluarga besar.
Nilai ini dapat diadaptasi dalam pengambilan keputusan digital. Sebelum membagikan sesuatu tentang anak, orang tua dapat bertanya kepada sesama anggota keluarga. Hal ini tidak hanya mencegah keputusan sepihak, tetapi juga memperkuat ikatan keluarga.
Penerapan nilai saling ajinang juga relevan dengan upaya menciptakan kebijakan yang melindungi hak-hak anak. Pemerintah desa dapat mengintegrasikan nilai ini dalam program literasi digital untuk orang tua.
Sebuah penelitian oleh Livingstone dan Third (2017) menegaskan bahwa literasi digital menjadi elemen penting melindungi anak-anak dari risiko dunia maya. Dalam konteks lokal, literasi ini harus dikaitkan dengan kearifan lokal agar lebih mudah diterima oleh masyarakat.
Selain peran pemerintah desa, lembaga pendidikan juga memiliki tanggung jawab. Sekolah maupun madrasah di desa dapat menjadi tempat mengajarkan pentingnya menjaga privasi anak di era digital. Pendekatan berbasis adat, seperti menggunakan cerita rakyat atau seni tradisional, dapat dijadikan sebagai metode yang efektif.
Misalnya, cerita tentang tokoh-tokoh adat Sasak yang menjunjung tinggi martabat individu, dijadikan ilustrasi untuk menyampaikan pesan moral kepada orang tua dan anak-anak.
Dalam perjalanan modernitas, kita sering kali dihadapkan pada dilema antara tradisi dan kemajuan teknologi. Namun, nilai-nilai lokal seperti saling ajinang membuktikan bahwa adat tidak harus ditinggalkan. Sebaliknya, ia dapat menjadi pedoman menavigasi era digital dengan bijaksana.
Budaya digital yang sehat bukan berarti menghapus jejak tradisi, melainkan memadukannya dengan teknologi secara harmonis. Nilai saling ajinang menjadi pengingat bahwa meskipun kita hidup di zaman yang serba cepat, penghormatan terhadap individu tetap harus menjadi prioritas. Anak-anak, sebagai generasi penerus, berhak tumbuh dalam lingkungan yang menghormati hak-hak mereka, baik di dunia nyata maupun maya.
Dengan mengadopsi nilai-nilai luhur seperti saling ajinang, komunitas desa di Lombok berpotensi besar menjadi contoh dalam menjaga keseimbangan antara tradisi dan modernitas. Era digital tidak harus menjadi ancaman bagi privasi anak, tetapi dapat menjadi peluang memperkuat budaya saling menghormati.
Dalam setiap unggahan, mari kita bertanya, “Apakah ini menghormati martabat anak?” Jika jawabannya meragukan, maka tradisi saling ajinang mengajarkan kita menahan diri. Karena sejatinya, menghormati anak adalah wujud nyata dari cinta kasih yang berakar pada nilai-nilai luhur budaya kita.
Sebagaimana sesenggak (pepatah) Sasak menyatakan: Aiq meneng, tunjung tilah, empaq bau—air tetap jernih, bunga teratai tetap utuh, ikan tertangkap. Tindakan bijaksana akan mencapai keberhasilan tanpa merugikan siapa pun. Nilai ini menjadi refleksi nyata bagaimana kita dapat menjaga kehormatan anak di tengah tantangan era digital.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI