Di sebuah desa kecil, Tuaq Saleh adalah nama yang kerap disebut warga ketika rambut mulai memanjang. Profesi tukang cukur tradisional yang dilakoninya sejak remaja bukan hanya soal memendekkan rambut, melainkan menyimpan makna lebih dalam bagi komunitasnya.
Panggilan “Tuaq” bukan sekadar sapaan akrab, melainkan bentuk penghormatan. “Tuaq” sering disematkan kepada seseorang yang telah lama menjalani profesi tertentu, seperti Tuaq Saleh, tukang cukur tradisional yang menjadi tokoh penting dalam kehidupan sosial desa.
Awalnya, Tuaq Saleh menjadi tukang cukur karena coba-coba. Semasa SMP, ia membantu mencukur rambut teman-temannya hanya dengan gunting dan sisir. Kala itu, upahnya tidak lebih dari dua batang rokok. Kini, ia tak lagi merokok, namun alat cukur masih setia di tangannya.
Di desa ini, tukang cukur tradisional seperti Tuaq Saleh punya tempat istimewa. Orang datang bukan hanya karena tarif murah, tetapi juga karena suasana yang akrab. Tempat cukur miliknya adalah ruang bercakap, tempat warga bertukar cerita, dari isu desa hingga kabar dunia luar.
Kehadiran barbershop modern sempat mencoba menggoyang tradisi ini. Dengan desain mewah dan potongan rambut yang lebih stylish, mereka menarik perhatian anak-anak muda.
Namun, keberadaan mereka tidak pernah bertahan lama. Tarif yang lebih tinggi dan suasana yang cenderung individualis membuat warga kembali ke Tuaq Saleh.
Sebuah barbershop pernah saya coba kunjungi. Di sana, suasananya terasa asing. Anak-anak muda duduk sambil memegang ponsel, tenggelam dalam dunia masing-masing. Tak ada percakapan, tak ada saling sapa. Momen menunggu menjadi sunyi, berbeda jauh dengan apa yang saya rasakan di tempat Tuaq Saleh.
Di ruang kecil Tuaq Saleh, waktu terasa berjalan lambat namun hangat. Para pelanggan yang menunggu saling berbincang. Mereka membicarakan banyak hal, harapan terhadap pemerintah, isu keluarga, hingga urusan tetangga. Setiap kunjungan selalu menghadirkan cerita baru.
Kehadiran Tuaq Saleh melampaui fungsi ekonomi. Ia menjadi simpul sosial yang menjembatani warga desa dalam berbagi informasi.
Dalam literatur sosiologi, peran semacam ini sering disebut “broker informasi,” di mana individu berfungsi sebagai penghubung antaranggota komunitas (Granovetter, 1973).
Barbershop modern yang didesain untuk urbanitas mungkin tidak relevan dalam konteks desa. Tradisi dan nilai-nilai kolektif yang dipegang masyarakat pedesaan sulit diadaptasi ke dalam ruang yang steril dari interaksi.
Seperti dikatakan oleh Clifford Geertz dalam The Interpretation of Cultures (1973), budaya lokal sering kali tidak terpisahkan dari fungsi sosial sehari-hari.
Tuaq Saleh adalah manifestasi dari konsep itu. Ia hadir bukan sebagai pelaku bisnis semata, melainkan sebagai bagian dari sistem sosial desa.
Ketika orang bercukur di tempatnya, mereka tidak sekadar mencari potongan rambut, melainkan ruang untuk bersilaturahmi dan menyuarakan aspirasi.
Pengalaman bercukur di barbershop modern yang hening membuat saya merenung. Mungkin inilah yang membuat model bisnis modern sulit bertahan di desa. Mereka gagal memahami bahwa bercukur adalah proses kolektif di mana relasi sosial terbangun secara natural.
Dalam tulisan The Moral Basis of a Backward Society (1958), Edward Banfield menyebut bahwa solidaritas komunal adalah perekat masyarakat tradisional.
Tukang cukur tradisional seperti Tuaq Saleh tidak sekadar memenuhi kebutuhan fisik, tetapi juga menjadi penjaga moralitas kolektif itu.
Barbershop modern memang menawarkan estetika dan layanan profesional, tetapi mereka belum bisa menggantikan fungsi sosial Tuaq Saleh. Warga desa mencari interaksi, bukan hanya layanan. Mereka ingin didengar, berdialog, dan merasakan keberadaan komunitas.
Setiap kali saya mengunjungi tempat cukur Tuaq Saleh, saya pulang dengan lebih dari sekadar potongan rambut baru. Saya membawa cerita, tawa, dan pemahaman yang lebih dalam tentang dinamika desa.
Tuaq Saleh adalah cermin dari masyarakat desa yang hidup dalam kebersamaan. Ia membuktikan bahwa teknologi dan modernisasi tidak selalu menjadi jawaban untuk semua kebutuhan manusia. Di desa, kebersamaan tetap menjadi nilai yang tak ternilai.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI