Di sebuah desa kecil, Tuaq Saleh adalah nama yang kerap disebut warga ketika rambut mulai memanjang. Profesi tukang cukur tradisional yang dilakoninya sejak remaja bukan hanya soal memendekkan rambut, melainkan menyimpan makna lebih dalam bagi komunitasnya.
Panggilan “Tuaq” bukan sekadar sapaan akrab, melainkan bentuk penghormatan. “Tuaq” sering disematkan kepada seseorang yang telah lama menjalani profesi tertentu, seperti Tuaq Saleh, tukang cukur tradisional yang menjadi tokoh penting dalam kehidupan sosial desa.
Awalnya, Tuaq Saleh menjadi tukang cukur karena coba-coba. Semasa SMP, ia membantu mencukur rambut teman-temannya hanya dengan gunting dan sisir. Kala itu, upahnya tidak lebih dari dua batang rokok. Kini, ia tak lagi merokok, namun alat cukur masih setia di tangannya.
Di desa ini, tukang cukur tradisional seperti Tuaq Saleh punya tempat istimewa. Orang datang bukan hanya karena tarif murah, tetapi juga karena suasana yang akrab. Tempat cukur miliknya adalah ruang bercakap, tempat warga bertukar cerita, dari isu desa hingga kabar dunia luar.
Kehadiran barbershop modern sempat mencoba menggoyang tradisi ini. Dengan desain mewah dan potongan rambut yang lebih stylish, mereka menarik perhatian anak-anak muda.
Namun, keberadaan mereka tidak pernah bertahan lama. Tarif yang lebih tinggi dan suasana yang cenderung individualis membuat warga kembali ke Tuaq Saleh.
Sebuah barbershop pernah saya coba kunjungi. Di sana, suasananya terasa asing. Anak-anak muda duduk sambil memegang ponsel, tenggelam dalam dunia masing-masing. Tak ada percakapan, tak ada saling sapa. Momen menunggu menjadi sunyi, berbeda jauh dengan apa yang saya rasakan di tempat Tuaq Saleh.
Di ruang kecil Tuaq Saleh, waktu terasa berjalan lambat namun hangat. Para pelanggan yang menunggu saling berbincang. Mereka membicarakan banyak hal, harapan terhadap pemerintah, isu keluarga, hingga urusan tetangga. Setiap kunjungan selalu menghadirkan cerita baru.
Kehadiran Tuaq Saleh melampaui fungsi ekonomi. Ia menjadi simpul sosial yang menjembatani warga desa dalam berbagi informasi.
Dalam literatur sosiologi, peran semacam ini sering disebut “broker informasi,” di mana individu berfungsi sebagai penghubung antaranggota komunitas (Granovetter, 1973).