Mohon tunggu...
Beryn Imtihan
Beryn Imtihan Mohon Tunggu... Konsultan - Penikmat Kopi

Saat ini mengabdi pada desa. Kopi satu-satunya hal yang selalu menarik perhatiannya...

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Tenang Pak Prabowo, Gibran Ada di Sini: Popularitas dan Kepuasan Publik di Desa

23 Januari 2025   09:07 Diperbarui: 23 Januari 2025   09:07 51
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pidato Gibran Rakabuming Raka saat mendampingi Prabowo Subianto mendaftarkan diri ke Komisi Pemilihan Umum (KPU) menjadi salah satu momentum politik yang mencuri perhatian publik, tak terkecuali di desa. Kalimat sederhana “Tenang saja Pak Prabowo, saya sudah ada di sini” bagi sebagian orang desa, menjadi simbol kepercayaan diri Gibran menempuh peran barunya sebagai bakal calon wakil presiden.

Dalam konteks ini, pidato tersebut tidak sekadar rangkaian kata, melainkan representasi perubahan lanskap politik yang turut membentuk persepsi masyarakat desa terhadap pasangan Prabowo-Gibran. 

Namun, bagaimana hubungan antara popularitas Prabowo dan kepuasan publik dalam 100 hari pemerintahan Prabowo-Gibran? Dan, apakah kepuasan itu terdistribusi merata jika dilihat dari kacamata desa, di mana mayoritas penduduk Indonesia tinggal? Lebih jauh lagi, apakah pembagian popularitas antara Prabowo dan Gibran memberikan dampak yang signifikan terhadap masyarakat desa?

Dalam teori politik, popularitas sering kali menjadi modal awal bagi seorang pemimpin untuk membangun legitimasi, tetapi kepuasan publik adalah parameter yang lebih kompleks. Seperti yang dijelaskan Almond dan Verba dalam The Civic Culture (1963), kepuasan publik merupakan gabungan antara persepsi terhadap kebijakan yang dihasilkan pemerintah dan partisipasi politik masyarakat.

Oleh karena itu, popularitas yang tinggi di awal pemerintahan Prabowo-Gibran mungkin tidak secara otomatis berbanding lurus dengan kepuasan publik, terutama jika implementasi kebijakan tidak menjawab kebutuhan masyarakat desa.

Sebagai latar, popularitas Prabowo sudah mengakar kuat sejak pemilu-pemilu sebelumnya. Namun, nama Gibran membawa nuansa baru, terutama di kalangan generasi muda.

Popularitas ini bersifat komplementer, di mana Prabowo dikenal karena pengalaman panjangnya di kancah politik nasional, sedangkan Gibran mencitrakan pembaruan dan gaya kepemimpinan yang lebih muda. Di desa, kombinasi ini menciptakan harapan akan pemimpin yang tidak hanya tegas, tetapi juga adaptif terhadap perubahan zaman.

Harapan ini terlihat dalam program 100 hari pertama mereka, yang konon akan menitikberatkan pada pembangunan infrastruktur desa, optimalisasi dana desa, dan penguatan Badan Usaha Milik Desa (BUMDes). Tetapi, di lapangan, realisasinya sering menghadapi tantangan yang tidak sejalan dengan ekspektasi masyarakat.

Sebagai contoh, laporan dari Desa Indonesia: Transformasi Sosial Ekonomi (2020) menyebutkan bahwa salah satu masalah terbesar di desa adalah kurangnya integrasi antara program nasional dan kebutuhan lokal. Jika Prabowo-Gibran hanya fokus pada pendekatan top-down, maka program-program mereka berisiko tidak membumi di desa.

Ketika kita berbicara tentang kepuasan publik, desa memiliki dinamika unik. Dalam konteks otonomi desa, masyarakat cenderung menilai pemerintah pusat berdasarkan dampaknya terhadap kehidupan sehari-hari mereka.

Misalnya, apakah infrastruktur yang dijanjikan benar-benar meningkatkan aksesibilitas? Apakah dana desa dikelola dengan transparansi? Apakah harga hasil tani lebih stabil? Pertanyaan-pertanyaan ini menjadi ukuran konkret kepuasan yang sering kali tidak terwakili dalam survei nasional yang cenderung bias perkotaan.

Sebagai ilustrasi, survei terbaru dari Litbang Kompas pada Desember 2024 menunjukkan bahwa popularitas Prabowo-Gibran berada di angka 70%, tetapi tingkat kepuasan publik terhadap program mereka hanya menyentuh 55%. Diskrepansi ini dapat dijelaskan dengan teori expectation-disconfirmation yang dikemukakan Oliver (1980).

Dalam teori ini, kepuasan adalah hasil perbandingan antara ekspektasi awal dengan realitas yang dirasakan. Ketika ekspektasi masyarakat desa yang tinggi terhadap pasangan ini tidak terpenuhi dalam 100 hari pertama, rasa kecewa akan lebih menonjol dibandingkan rasa puas.

Uniknya, kontribusi Gibran sebagai wakil presiden juga menjadi variabel penting. Banyak pengamat menilai bahwa popularitas Gibran lebih bersifat “pinjaman” dari nama besar Jokowi, ayahnya, yang masih sangat dihormati di desa-desa.

Dalam The Political Legacy of Jokowi (2022), disebutkan bahwa masyarakat desa memandang Jokowi sebagai simbol pemimpin rakyat yang dekat dengan akar rumput. Dengan demikian, keberadaan Gibran di pemerintahan Prabowo diharapkan menjadi “penerus spirit Jokowi”. Tetapi, jika Gibran tidak mampu menunjukkan kontribusi nyata, popularitasnya dapat memudar dengan cepat.

Dalam konteks distribusi popularitas antara Prabowo dan Gibran, masyarakat desa mungkin melihatnya secara sinergis. Namun, ketika harus memilih siapa yang lebih bertanggung jawab atas keberhasilan atau kegagalan, nama Prabowo tetap lebih dominan. Hal ini sesuai dengan konsep presidential coattails effect, di mana pemimpin utama cenderung menjadi penentu utama persepsi publik, sementara peran wakilnya cenderung lebih kabur.

Dampaknya terhadap desa pun tidak bisa diabaikan. Ketika popularitas Prabowo tinggi tetapi kepuasan rendah, masyarakat desa mungkin merespons dengan menurunkan partisipasi mereka dalam program pemerintah, seperti musyawarah desa atau program pemberdayaan ekonomi.

Sebaliknya, jika program-program tersebut benar-benar berhasil meningkatkan taraf hidup, maka legitimasi pemerintah Prabowo-Gibran akan semakin kokoh. Dalam hal ini, komunikasi politik yang efektif menjadi kunci. Pemerintah harus mampu menjelaskan capaian-capaian mereka dengan bahasa yang mudah dipahami masyarakat desa, sekaligus mengakui tantangan yang masih harus diatasi.

Pada akhirnya, pidato Gibran di KPU yang penuh percaya diri itu menjadi pengingat bahwa politik adalah tentang narasi. Tetapi, narasi yang tidak diiringi dengan aksi nyata hanya akan menjadi retorika kosong. Bagi masyarakat desa, kepuasan bukan soal siapa yang lebih populer, melainkan siapa yang mampu memberikan solusi bagi permasalahan mereka.

Dalam 100 hari pertama, Prabowo-Gibran telah menunjukkan arah, tetapi jalan mereka masih panjang untuk memastikan desa-desa di Indonesia benar-benar merasakan manfaat dari pemerintahan ini.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun