Misalnya, apakah infrastruktur yang dijanjikan benar-benar meningkatkan aksesibilitas? Apakah dana desa dikelola dengan transparansi? Apakah harga hasil tani lebih stabil? Pertanyaan-pertanyaan ini menjadi ukuran konkret kepuasan yang sering kali tidak terwakili dalam survei nasional yang cenderung bias perkotaan.
Sebagai ilustrasi, survei terbaru dari Litbang Kompas pada Desember 2024 menunjukkan bahwa popularitas Prabowo-Gibran berada di angka 70%, tetapi tingkat kepuasan publik terhadap program mereka hanya menyentuh 55%. Diskrepansi ini dapat dijelaskan dengan teori expectation-disconfirmation yang dikemukakan Oliver (1980).
Dalam teori ini, kepuasan adalah hasil perbandingan antara ekspektasi awal dengan realitas yang dirasakan. Ketika ekspektasi masyarakat desa yang tinggi terhadap pasangan ini tidak terpenuhi dalam 100 hari pertama, rasa kecewa akan lebih menonjol dibandingkan rasa puas.
Uniknya, kontribusi Gibran sebagai wakil presiden juga menjadi variabel penting. Banyak pengamat menilai bahwa popularitas Gibran lebih bersifat “pinjaman” dari nama besar Jokowi, ayahnya, yang masih sangat dihormati di desa-desa.
Dalam The Political Legacy of Jokowi (2022), disebutkan bahwa masyarakat desa memandang Jokowi sebagai simbol pemimpin rakyat yang dekat dengan akar rumput. Dengan demikian, keberadaan Gibran di pemerintahan Prabowo diharapkan menjadi “penerus spirit Jokowi”. Tetapi, jika Gibran tidak mampu menunjukkan kontribusi nyata, popularitasnya dapat memudar dengan cepat.
Dalam konteks distribusi popularitas antara Prabowo dan Gibran, masyarakat desa mungkin melihatnya secara sinergis. Namun, ketika harus memilih siapa yang lebih bertanggung jawab atas keberhasilan atau kegagalan, nama Prabowo tetap lebih dominan. Hal ini sesuai dengan konsep presidential coattails effect, di mana pemimpin utama cenderung menjadi penentu utama persepsi publik, sementara peran wakilnya cenderung lebih kabur.
Dampaknya terhadap desa pun tidak bisa diabaikan. Ketika popularitas Prabowo tinggi tetapi kepuasan rendah, masyarakat desa mungkin merespons dengan menurunkan partisipasi mereka dalam program pemerintah, seperti musyawarah desa atau program pemberdayaan ekonomi.
Sebaliknya, jika program-program tersebut benar-benar berhasil meningkatkan taraf hidup, maka legitimasi pemerintah Prabowo-Gibran akan semakin kokoh. Dalam hal ini, komunikasi politik yang efektif menjadi kunci. Pemerintah harus mampu menjelaskan capaian-capaian mereka dengan bahasa yang mudah dipahami masyarakat desa, sekaligus mengakui tantangan yang masih harus diatasi.
Pada akhirnya, pidato Gibran di KPU yang penuh percaya diri itu menjadi pengingat bahwa politik adalah tentang narasi. Tetapi, narasi yang tidak diiringi dengan aksi nyata hanya akan menjadi retorika kosong. Bagi masyarakat desa, kepuasan bukan soal siapa yang lebih populer, melainkan siapa yang mampu memberikan solusi bagi permasalahan mereka.
Dalam 100 hari pertama, Prabowo-Gibran telah menunjukkan arah, tetapi jalan mereka masih panjang untuk memastikan desa-desa di Indonesia benar-benar merasakan manfaat dari pemerintahan ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H