Mohon tunggu...
Beryn Imtihan
Beryn Imtihan Mohon Tunggu... Konsultan - Penikmat Kopi

Saat ini mengabdi pada desa. Kopi satu-satunya hal yang selalu menarik perhatiannya...

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop Pilihan

Kekuasaan, Kezaliman, dan Hukum Dzarrah

19 Januari 2025   18:52 Diperbarui: 19 Januari 2025   18:52 43
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi (sumber: Gambar oleh Mohamed Hassan dari Pixabay)

Kekuasaan selalu menjadi topik menarik untuk dikaji, terutama karena sifatnya yang kompleks dan dinamis. Di tangan yang tepat, kekuasaan bisa menjadi alat untuk menciptakan kebaikan dan harmoni. Namun, kekuasaan juga kerap menjadi senjata berbahaya ketika digunakan untuk tujuan semena-mena, terutama oleh mereka yang belum matang secara emosional dan moral. 

Dalam kehidupan bermasyarakat, penyalahgunaan kekuasaan tidak hanya merugikan individu tertentu tetapi juga menciptakan keretakan sosial.

Salah satu kasus yang sering terjadi adalah tindakan pemutusan kerja tanpa alasan yang jelas, atau bahkan dengan alasan yang sengaja direkayasa. Fenomena ini, dalam pandangan sosiologi, mencerminkan ketidakseimbangan relasi kuasa antara atasan dan bawahan. 

Misalnya, selama tahun 2024, sebanyak 8.394 karyawan di Jawa Timur (Jatim) harus kehilangan pekerjaan akibat Pemutusan Hubungan Kerja (PHK). Data ini mencakup 21 daerah dari total 38 kabupaten/kota di provinsi tersebut (Jatim.viva.co.id, 19/01/2025).

Dalam beberapa kasus, mereka yang memiliki kekuasaan sering kali menggunakan pemutusan kerja sebagai cara memuaskan ego atau dendam pribadi, tanpa mempertimbangkan dampaknya terhadap orang lain.

Dalam konteks Islam, perilaku semena-mena ini sangat dikecam. Konsep Hukum Dzarrah, sebagaimana tercantum dalam Al-Qur'an Surah Az-Zalzalah ayat 7-8, menegaskan bahwa setiap perbuatan manusia, baik atau buruk, sekecil apa pun, akan mendapatkan balasan. 

Hal ini memperlihatkan bahwa kezaliman tidak akan pernah dibiarkan tanpa ganjaran. Rasulullah SAW juga mengingatkan bahwa kezaliman adalah kegelapan di hari kiamat (HR Muslim).

Baca juga: Jeda di Lampu Merah

Jika ditinjau dari perspektif sosiologi, tindakan semena-mena dalam kekuasaan berkaitan erat dengan teori stratifikasi sosial. Dalam struktur organisasi atau masyarakat, mereka yang berada di puncak hierarki sering kali memiliki akses lebih besar terhadap sumber daya, informasi, dan pengaruh. 

Kekuasaan ini, apabila tidak dikontrol oleh norma sosial atau nilai agama, dapat mendorong individu untuk bertindak sewenang-wenang. Hal ini sesuai dengan pendapat Max Weber, yang menyebutkan bahwa kekuasaan adalah kemampuan seseorang untuk memaksakan kehendaknya, meskipun menghadapi perlawanan.

Perilaku semena-mena ini bukan hanya masalah individu. Ia adalah cerminan dari budaya organisasi atau sistem sosial yang lemah dalam menerapkan prinsip keadilan. Dalam banyak kasus, institusi yang seharusnya menjadi penegak keadilan justru terjebak dalam praktik nepotisme dan suka-tidak suka

Akibatnya, orang-orang yang memiliki kedekatan personal dengan penguasa sering kali mendapatkan perlakuan istimewa, sementara yang dianggap sebagai "musuh" dihukum tanpa alasan yang objektif.

Fenomena ini tidak hanya menciptakan ketidakadilan tetapi juga merusak kohesi sosial. Ketika orang merasa bahwa sistem tidak berpihak pada keadilan, mereka kehilangan kepercayaan terhadap institusi. 

Sejalan dengan pandangan Emile Durkheim yang menekankan bahwa keadilan merupakan perekat sosial yang menjaga harmoni dalam masyarakat. Jika keadilan dirusak, masyarakat akan berada dalam kondisi "anomi," yaitu kekacauan sosial akibat hilangnya norma yang mengatur perilaku individu.

Penyalahgunaan kekuasaan juga sering kali berakar pada rasa superioritas yang keliru. Mereka yang berada di posisi kekuasaan merasa bahwa status mereka memberi hak untuk mengendalikan kehidupan orang lain. 

Padahal, dalam Islam, kekuasaan adalah amanah yang harus dijalankan dengan penuh tanggung jawab. Rasulullah SAW bersabda, "Pemimpin adalah pelayan bagi rakyatnya" (HR Ahmad). 

Konsep ini bertentangan dengan praktik kepemimpinan yang menindas, di mana atasan menggunakan kekuasaan untuk menghukum bawahan yang tidak disukai.

Salah satu contoh nyata dalam masyarakat adalah fenomena pemberhentian kerja secara sepihak, yang sering kali dilakukan tanpa alasan yang jelas. Dalam kasus seperti ini, kekuasaan digunakan sebagai alat untuk melampiaskan dendam pribadi. 

Misalnya, seorang atasan yang merasa terganggu oleh kritik atau masukan bawahan, memilih untuk memecat bawahan tersebut daripada berdialog secara konstruktif. Tindakan seperti ini menunjukkan rendahnya kemampuan emosional dan moral pemimpin dalam menghadapi perbedaan pendapat.

Dari perspektif hukum Islam, tindakan semena-mena semacam ini adalah bentuk kezaliman. Kezaliman adalah salah satu dosa besar yang disebutkan dalam banyak ayat Al-Qur'an dan hadis. 

Dalam sebuah hadis Qudsi, Allah SWT berfirman, "Wahai hamba-Ku, Aku telah mengharamkan kezaliman atas diri-Ku, dan Aku menjadikannya haram di antara kalian. Maka janganlah kalian saling menzalimi" (HR Muslim).

Selain itu, kezaliman juga memiliki dampak buruk terhadap pelaku. Secara sosiologis, mereka yang menyalahgunakan kekuasaan sering kali kehilangan dukungan dari orang-orang di sekitarnya. 

Dalam jangka panjang, mereka mungkin dijauhi atau bahkan kehilangan posisi mereka karena dianggap tidak layak. Ini adalah bentuk balasan sosial yang mencerminkan Hukum Dzarrah dalam konteks kehidupan dunia.

Walau demikian, ada pelajaran yang bisa dipetik dari fenomena ini. Islam mengajarkan bahwa kekuasaan harus digunakan untuk menciptakan keadilan dan kemaslahatan. Pemimpin yang baik adalah mereka yang mampu mendengarkan, memahami, dan melindungi orang-orang yang berada di bawah tanggung jawabnya. 

Hal ini sesuai dengan ajaran Al-Qur'an: "Sesungguhnya Allah memerintahkan kamu untuk menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya dan apabila kamu menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkannya dengan adil" (QS An-Nisa: 58).

Dalam masyarakat modern, penerapan nilai-nilai keadilan ini dapat diwujudkan melalui sistem yang transparan dan akuntabel. Organisasi harus memiliki mekanisme pengawasan yang memastikan bahwa kekuasaan tidak disalahgunakan. Selain itu, pendidikan moral dan spiritual juga harus menjadi bagian integral dari pembentukan karakter pemimpin.

Sebagai penutup, kekuasaan merupakan ujian besar bagi manusia. Mereka yang menyalahgunakan kekuasaan untuk berbuat zalim akan menghadapi balasan, baik di dunia maupun akhirat. Dalam perspektif sosiologi, penyalahgunaan kekuasaan menciptakan ketidakadilan dan merusak kohesi sosial. 

Dalam perspektif Islam, kezaliman adalah dosa besar yang akan diperhitungkan dengan teliti. Maka, sebagai pemegang kekuasaan, setiap individu harus menyadari tanggung jawabnya untuk menegakkan keadilan, bukan untuk menindas.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Vox Pop Selengkapnya
Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun