Mohon tunggu...
Beryn Imtihan
Beryn Imtihan Mohon Tunggu... Konsultan - Penikmat Kopi

Saat ini mengabdi pada desa. Kopi satu-satunya hal yang selalu menarik perhatiannya...

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Mendampingi Masyarakat Desa, Komitmen TPP di Tahun 2025

17 Januari 2025   09:04 Diperbarui: 17 Januari 2025   22:23 102
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Jakarta kembali menyaksikan transformasi program pemberdayaan desa oleh Kementerian Desa dan Pembangunan Daerah Tertinggal (Kemendes PDT), yang terus mendorong inovasi dan penguatan kapasitas desa untuk mencapai pembangunan berkelanjutan, serta meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui berbagai inisiatif strategis dan kolaboratif.

Pada 16 Januari 2025, Kepala Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia dan Pemberdayaan Masyarakat Desa (BPSDM PMDDT) merilis Surat Keputusan Nomor 52 Tahun 2025 terkait Tenaga Pendamping Profesional (TPP) Tahun Anggaran 2025. SK ini menjadi landasan penting dalam melanjutkan misi pembangunan desa yang lebih inklusif dan partisipatif.

Pelantikan Dr. Agustomi Masik, M.Dev.Plg sebagai Kepala BPSDM yang baru menggantikan Prof. Dr. Luthfiyah Nurlaela, M.Pd, menambah momentum penting di hari yang sama. Pergantian ini diharapkan membawa energi segar dalam mengelola program strategis pendampingan masyarakat desa, khususnya di tengah tantangan pembangunan yang semakin kompleks.

Berdasarkan Surat Kepala BPSDM PMDDT No. 102/SDM.00.03/1/2025, TPP yang terpilih untuk perpanjangan kontrak kerja pada tahun ini telah melalui proses seleksi yang ketat. Evaluasi mencakup kinerja, administrasi, dan kualifikasi. Hal ini merujuk pada ketentuan teknis yang tercantum dalam Keputusan Menteri Desa Nomor 143 Tahun 2022.

Namun, dinamika seleksi tak luput dari beberapa persoalan. Sebagian TPP yang tak tercantum dalam SK terbaru dihadapkan pada beragam alasan. Beberapa di antaranya disebabkan ketidaklengkapan dokumen, evaluasi kinerja yang kurang memuaskan, hingga status ganda sebagai aparatur sipil negara, anggota TNI, POLRI, atau perangkat desa.

Kebijakan ini bertujuan menjaga profesionalitas dan akuntabilitas dalam program pendampingan. Penulis seperti Sutoro Eko dalam bukunya "Membangun Desa" (2016) menekankan pentingnya standar tinggi bagi pendamping untuk menciptakan desa yang mandiri dan berkelanjutan.

TPP yang tidak lolos evaluasi diberikan kesempatan untuk melakukan klarifikasi. Khususnya bagi PD dan PLD di wilayah Maluku, Papua, dan sekitarnya, proses klarifikasi menjadi prioritas. Hal ini menunjukkan komitmen Kemendes PDT dalam mendukung daerah-daerah dengan tantangan geografis dan sosial yang unik.

Klarifikasi ini dilakukan secara berjenjang melalui Koordinator Provinsi dan Nasional, yang nantinya akan memberikan rekomendasi kepada BPSDM. Proses ini diatur secara transparan untuk memastikan keadilan dan akurasi keputusan.

Di balik angka dan regulasi, ada cerita perjuangan. Para pendamping desa adalah ujung tombak pembangunan dari bawah, yang kerap kali bekerja di pelosok-pelosok tanpa akses memadai. Mereka adalah jembatan antara masyarakat desa dan pemerintah, memastikan bahwa program-program pembangunan benar-benar dirasakan manfaatnya. 

Sebagai contoh, studi dari IFAD (International Fund for Agricultural Development) menunjukkan bahwa keberhasilan program pemberdayaan desa sangat bergantung pada kualitas pendamping yang memahami konteks lokal.

Program pendampingan desa ini telah menunjukkan hasil signifikan dalam beberapa tahun terakhir. Menurut data Kemendes PDT, lebih dari 70% desa yang mendapatkan pendampingan intensif menunjukkan peningkatan dalam Indeks Desa Membangun (IDM). Namun, tantangan tetap ada.

Kebutuhan pelatihan berkelanjutan bagi TPP, penguatan kapasitas teknologi, dan peningkatan kesejahteraan pendamping menjadi isu yang perlu terus diperhatikan. Dalam konteks ini, peran BPSDM sebagai lembaga pengembangan kapasitas menjadi semakin strategis. Seiring dengan perpanjangan kontrak kerja TPP, ada pula harapan agar pendamping dapat lebih responsif terhadap dinamika desa.

Pengurangan risiko bencana, keberlanjutan lingkungan, dan pengentasan kemiskinan menjadi fokus utama yang harus diterjemahkan dalam kerja nyata. Laporan dari World Bank (2022) menyoroti pentingnya integrasi kebijakan desa dengan upaya mitigasi bencana dan pengelolaan sumber daya alam secara berkelanjutan.

Surat Keputusan Nomor 52 Tahun 2025 menjadi refleksi sekaligus harapan baru. Pendamping desa diharapkan tidak hanya menjadi pelaksana teknis, tetapi juga penggerak perubahan. Melalui pendampingan, desa di Indonesia diharapkan mampu menghadapi tantangan globalisasi tanpa kehilangan jati diri.

Dengan keberlanjutan program ini, mimpi akan desa yang maju, mandiri, dan berdaya semakin nyata. Ke depan, desa bukan lagi sekadar objek pembangunan, tetapi menjadi subjek yang menentukan arah masa depan bangsa.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun