Ketahanan pangan menjadi salah satu isu paling mendesak di tengah dunia yang terus menghadapi dampak perubahan iklim global. Kementerian Desa dan Pembangunan Daerah Tertinggal (Kemendesa PDT) melalui Keputusan Menteri Nomor 3 Tahun 2025 mengambil langkah penting menjawab tantangan tersebut dengan mengarahkan penggunaan Dana Desa (DD) secara strategis.
Keputusan ini mewajibkan setiap desa mengalokasikan minimal 20 persen Dana Desa untuk mendukung program ketahanan pangan. Kebijakan ini tidak hanya menjadikan desa sebagai pilar utama ketahanan pangan nasional tetapi juga sebagai motor penggerak dalam menciptakan swasembada pangan yang berkelanjutan.
Langkah ini berangkat dari urgensi menjamin ketersediaan pangan lokal di tengah ancaman krisis pangan global. Diversifikasi sumber pangan lokal menjadi krusial guna mengatasi persoalan ini. Desa, sebagai unit terkecil pembangunan, berotensi menjadi solusi dalam menghadapi tantangan tersebut.
Badan Pangan Dunia (FAO) dalam laporannya tahun 2024 memperingatkan bahwa perubahan iklim telah menurunkan hasil produksi pangan hingga 10 persen di kawasan Asia Tenggara, termasuk Indonesia. Data ini menunjukkan perlunya langkah strategis mengantisipasi dampak perubahan iklim terhadap ketahanan pangan di masa depan.
Kebijakan ini mengedepankan prinsip keberlanjutan dan kemandirian, dengan mendorong desa meningkatkan kapasitas produksi pangan lokal. Pemanfaatan Dana Desa yang dikelola secara akuntabel dan transparan menjadi kunci mendukung potensi ekonomi desa.
Identifikasi potensi ekonomi desa menjadi langkah awal guna menentukan sektor unggulan. Di desa dengan potensi hortikultura, Dana Desa dapat digunakan untuk pengembangan kebun sayur organik dengan teknologi irigasi hemat air, atau di daerah pesisir, untuk tambak udang dan rumput laut ramah lingkungan.
Perencanaan program ketahanan pangan berbasis desa dilakukan melalui musyawarah desa, yang memberikan ruang bagi masyarakat untuk menentukan prioritas sesuai dengan kebutuhan lokal. Proses ini memastikan bahwa program yang dilaksanakan sesuai dengan potensi desa, meningkatkan efektivitas dan keberlanjutan program.
Peneliti dari Universitas Gadjah Mada, seperti yang diungkap dalam jurnal Agricultural Development Review (2022), menekankan pentingnya perencanaan berbasis komunitas. Pendekatan ini diyakini dapat meningkatkan efektivitas program ketahanan pangan, dengan memastikan bahwa intervensi yang dilakukan sesuai dengan kondisi dan potensi masing-masing desa.
Pelaksanaan program ini didukung oleh Badan Usaha Milik Desa (BUM Desa) atau kelembagaan ekonomi desa lainnya. Jika BUM Desa belum tersedia, Tim Pelaksana Kegiatan dapat mengambil alih pengelolaan. Hal ini memungkinkan desa tetap melaksanakan program dengan optimal.
Salah satu contoh sukses penerapan kebijakan ini terlihat di Desa Ngadirejo, Kabupaten Temanggung. BUM Desa "Tani Makmur" berhasil meningkatkan hasil produksi kopi arabika lokal hingga 30 persen melalui penyediaan alat pengolahan modern. Kesuksesan ini dapat direplikasi di desa lain dengan pengelolaan yang baik.
Mitigasi risiko menjadi fokus utama dalam kebijakan ini. Strategi yang disarankan meliputi diversifikasi pangan lokal, penerapan teknologi tepat guna, dan kerja sama distribusi hasil panen. Hal ini bertujuan meningkatkan ketahanan pangan di tingkat desa.
Dalam menghadapi perubahan iklim, diversifikasi tanaman menjadi langkah penting. Ini mengurangi ketergantungan pada satu jenis tanaman yang rentan terhadap perubahan cuaca ekstrem. Oleh karena itu, penting untuk mencari alternatif yang lebih tahan terhadap kondisi yang berubah.
Di beberapa desa di Nusa Tenggara Barat, penanaman sorgum dipromosikan sebagai alternatif padi. Penelitian oleh BRIN menunjukkan bahwa sorgum memiliki ketahanan lebih baik terhadap kekeringan dibandingkan tanaman pangan lainnya, menjadikannya pilihan ideal di daerah rawan kekeringan.
Selain itu, teknologi tepat guna menjadi solusi guna meningkatkan efisiensi produksi pangan desa. Salah satu inovasi yang dapat diterapkan adalah penggunaan biopori untuk meningkatkan kualitas tanah dan mencegah genangan air yang merusak tanaman.
Dalam konteks distribusi, kolaborasi antar desa melalui BUM Desa Bersama dapat memperluas jaringan pemasaran produk pangan lokal. Misalnya, produk beras organik dari beberapa desa di Jawa Barat kini berhasil menembus pasar ekspor ke Jepang, berkat pengelolaan distribusi yang terintegrasi.
Keberhasilan kebijakan ini tidak terlepas dari pembinaan dan pengawasan yang ketat. Peran pendamping desa sangat vital dalam memberikan bimbingan teknis kepada masyarakat. Pendekatan ini memastikan penggunaan Dana Desa sesuai dengan tujuan awal dan tidak menyimpang.
Selain itu, pemerintah daerah dan Kemendesa PDTT secara aktif memantau pelaksanaan program ini melalui laporan berkala. Penelitian Sutopo dan Wahyuni dalam buku Governance Desa di Era Otonomi (2021) menunjukkan bahwa tata kelola desa yang baik berpengaruh pada keberhasilan program pembangunan, termasuk ketahanan pangan.
Melalui kebijakan ini, Kemendesa PDT berharap desa-desa di Indonesia mampu mengambil keputusan secara mandiri dalam menjawab tantangan ketahanan pangan. Dengan tata kelola Dana Desa yang baik, desa tidak hanya menjadi pelaku tetapi juga inovator dalam menciptakan solusi bagi permasalahan pangan. Hasilnya, tercipta swasembada pangan yang berdampak positif pada kesejahteraan masyarakat secara keseluruhan.
Dampak kebijakan ini tidak hanya akan dirasakan di tingkat lokal, tetapi juga nasional dan bahkan global. Desa-desa yang berhasil menciptakan swasembada pangan dapat mengurangi ketergantungan Indonesia pada impor pangan, yang selama ini menjadi salah satu sumber kerentanan ekonomi.
Selain itu, dengan keberlanjutan sebagai prinsip utama, program ini mendukung pencapaian Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) Desa. Fokus utamanya adalah mengakhiri kelaparan, mencapai ketahanan pangan, dan meningkatkan gizi, yang menjadi bagian dari SDGs nomor dua.
Sebagai bagian dari upaya kolektif melawan krisis pangan global, kebijakan ini menunjukkan komitmen Indonesia dalam mendukung agenda pembangunan dunia. Situasi di mana jutaan orang menghadapi ancaman kelaparan akibat perubahan iklim mendorong desa-desa di Indonesia tampil dengan solusi inovatif.
Keputusan Menteri Desa Nomor 3 Tahun 2025 membuktikan bahwa desa tidak hanya menjadi penerima kebijakan, tetapi juga agen perubahan. Dengan peran aktif ini, desa memberikan dampak luas yang tidak hanya bermanfaat bagi bangsa, tetapi juga bagi dunia.
Dengan langkah konkret ini, diharapkan ketahanan pangan desa tidak hanya menjadi program jangka pendek tetapi juga investasi masa depan yang mengokohkan Indonesia sebagai negara dengan fondasi ekonomi yang kuat, berdaulat dalam pangan, dan siap menghadapi tantangan global.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H