Sepulang dari kegiatan pendampingan di sebuah desa, saya memilih melewati jalur kota. Malam itu, udara terasa hangat meski bercampur debu dari lalu lintas yang padat. Jalanan penuh kendaraan, menciptakan suasana ramai yang khas di tengah hiruk-pikuk kota.
Di salah satu perempatan besar, kendaraan mulai melambat, kemudian berhenti. Lampu merah menyala terang, membuat antrean panjang. Perhatian saya tertuju pada penghitung waktu digital di atas lampu lalu lintas. Angka itu perlahan menurun, memberi tahu berapa lama lagi lampu hijau akan menyala.
Seperti kebanyakan orang, saya hanya ingin lampu hijau segera muncul. Ketergesaan untuk segera melaju membuat angka-angka pada lampu merah terasa lambat. Tapi malam itu, alih-alih hanya berharap waktu bergerak cepat, pikiran saya melayang. Ada sesuatu yang sangat simbolis dalam lampu merah dan penghitung waktunya. Setiap detik yang berlalu terasa seperti pengingat akan waktu yang tak mungkin kembali.
Cak Lontong pernah melontarkan lelucon sederhana namun penuh makna tentang lampu merah. Katanya, “Saat lampu hijau menyala, kita justru pergi. Padahal, bukankah kita sedang menunggu lampu hijau?” Dalam kelakar itu, ada kritik halus tentang bagaimana manusia sering hanya terfokus pada apa yang ada di depan mata, melupakan apa yang sedang terjadi saat ini. Kehidupan terasa seperti itu: selalu ada yang ditunggu, selalu ada yang belum selesai.
Dalam jeda lampu merah itu, saya teringat tulisan Milan Kundera dalam Slowness. Ia mengatakan, “Kecepatan adalah bentuk ekstasi yang dihasilkan oleh revolusi teknologi.” Kita hidup dalam dunia yang memuja percepatan, di mana menunggu dianggap membuang waktu. Tapi apakah waktu yang digunakan untuk menunggu benar-benar hilang? Atau mungkin kita hanya belum belajar untuk memanfaatkannya dengan bijak?
Menunggu di lampu merah adalah jeda. Jeda yang sering kita anggap sebagai gangguan, padahal bisa menjadi momen refleksi. Ketika kendaraan berhenti, dunia seperti memberi ruang untuk bernapas sejenak. Apa yang sering kita anggap remeh justru menawarkan pelajaran penting tentang hidup.
Dalam buku The Gift of Time, Fitzgerald mengingatkan bahwa momen jeda adalah saat ketika manusia bisa kembali menghubungkan dirinya dengan makna yang lebih besar. Sayangnya, kita terlalu sering teralihkan oleh hiruk-pikuk, oleh layar ponsel, oleh pikiran yang melompat ke hal-hal berikutnya.
Malam itu, lampu merah di perempatan kota tidak hanya menghentikan kendaraan, tetapi juga menghentikan waktu sejenak bagi saya. Setiap detik di penghitung waktu terasa seperti lonceng kecil yang mengingatkan bahwa hidup tidak berjalan mundur. Tidak ada yang bisa kembali ke detik sebelumnya. Detik-detik itu perlahan habis, seperti usia yang terus berkurang.
Sayangnya, kesadaran ini sering kali hanya muncul sesaat. Setelah lampu hijau menyala, kendaraan kembali melaju dengan kecepatan yang memabukkan. Tidak ada waktu untuk merenung. Keinginan untuk sampai di tujuan menghapus makna dari perjalanan itu sendiri. Dalam konteks ini, lampu merah seolah menjadi simbol bagaimana manusia sering kali mengabaikan momen kecil dalam hidup.
Tentu, tidak ada salahnya memiliki ambisi atau tujuan. Tetapi jika seluruh hidup hanya difokuskan pada tujuan, apakah kita benar-benar hidup? Victor Frankl dalam bukunya Man’s Search for Meaning menulis, “Kebahagiaan tidak bisa dikejar; ia harus muncul sebagai hasil dari pengabdian pada sesuatu yang lebih besar daripada diri sendiri.” Begitu pula dengan perjalanan hidup. Tujuan itu penting, tetapi jalan menuju ke sana lebih dari sekadar perantara.
Lampu merah mengajarkan dua hal yang sering terlupakan, kesabaran dan penghormatan terhadap aturan. Di tengah arus kendaraan yang sering diwarnai ketergesaan, lampu merah memaksa kita untuk berhenti. Tidak ada cara lain. Kita harus menunggu. Kesabaran ini, yang terlihat sepele, sebenarnya adalah inti dari banyak nilai kehidupan. Dalam dunia yang semakin serba cepat, kesabaran menjadi sesuatu yang langka, tetapi juga sangat berharga.
Di sisi lain, lampu merah menjadi pengingat bahwa hidup memiliki ritmenya sendiri. Tidak semua hal bisa dipaksakan berjalan cepat. Ada waktu untuk berhenti, ada waktu untuk berjalan. Ritme ini tidak hanya berlaku dalam lalu lintas, tetapi juga dalam kehidupan. Seperti yang diungkapkan oleh penulis Jepang Haruki Murakami dalam What I Talk About When I Talk About Running, “Hidup adalah perjalanan panjang, dan penting untuk menemukan ritme yang sesuai dengan diri kita.”
Refleksi sederhana di lampu merah ini juga membawa saya pada pemikiran tentang keberlanjutan. Di tengah deru kendaraan dan polusi yang memenuhi udara, ada ironi dalam cara kita yang terus memacu teknologi tanpa memberi jeda pada alam. Lampu merah, meskipun kecil, adalah salah satu bentuk pengendalian terhadap kekacauan. Ia memberi ruang agar semuanya berjalan lebih tertib. Dalam skala yang lebih besar, jeda seperti ini penting untuk menjaga keseimbangan alam dan kehidupan manusia.
Ketika lampu hijau akhirnya menyala, saya melanjutkan perjalanan dengan perasaan yang berbeda. Lampu merah yang sering dianggap sebagai penghambat justru mengajarkan bahwa hidup bukan hanya tentang mencapai tujuan, tetapi juga tentang bagaimana kita menjalani setiap momennya. Waktu yang dihabiskan menunggu tidak sia-sia jika kita tahu bagaimana menghargainya.
Dalam perjalanan hidup, mungkin ada baiknya kita sesekali berhenti, seperti di lampu merah. Menatap angka yang menurun di penghitung waktu dan merenungkan arti dari setiap detik yang berlalu. Karena pada akhirnya, hidup tidak hanya tentang apa yang kita kejar, tetapi juga tentang apa yang kita alami di sepanjang jalan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H