Lampu merah mengajarkan dua hal yang sering terlupakan, kesabaran dan penghormatan terhadap aturan. Di tengah arus kendaraan yang sering diwarnai ketergesaan, lampu merah memaksa kita untuk berhenti. Tidak ada cara lain. Kita harus menunggu. Kesabaran ini, yang terlihat sepele, sebenarnya adalah inti dari banyak nilai kehidupan. Dalam dunia yang semakin serba cepat, kesabaran menjadi sesuatu yang langka, tetapi juga sangat berharga.
Di sisi lain, lampu merah menjadi pengingat bahwa hidup memiliki ritmenya sendiri. Tidak semua hal bisa dipaksakan berjalan cepat. Ada waktu untuk berhenti, ada waktu untuk berjalan. Ritme ini tidak hanya berlaku dalam lalu lintas, tetapi juga dalam kehidupan. Seperti yang diungkapkan oleh penulis Jepang Haruki Murakami dalam What I Talk About When I Talk About Running, “Hidup adalah perjalanan panjang, dan penting untuk menemukan ritme yang sesuai dengan diri kita.”
Refleksi sederhana di lampu merah ini juga membawa saya pada pemikiran tentang keberlanjutan. Di tengah deru kendaraan dan polusi yang memenuhi udara, ada ironi dalam cara kita yang terus memacu teknologi tanpa memberi jeda pada alam. Lampu merah, meskipun kecil, adalah salah satu bentuk pengendalian terhadap kekacauan. Ia memberi ruang agar semuanya berjalan lebih tertib. Dalam skala yang lebih besar, jeda seperti ini penting untuk menjaga keseimbangan alam dan kehidupan manusia.
Ketika lampu hijau akhirnya menyala, saya melanjutkan perjalanan dengan perasaan yang berbeda. Lampu merah yang sering dianggap sebagai penghambat justru mengajarkan bahwa hidup bukan hanya tentang mencapai tujuan, tetapi juga tentang bagaimana kita menjalani setiap momennya. Waktu yang dihabiskan menunggu tidak sia-sia jika kita tahu bagaimana menghargainya.
Dalam perjalanan hidup, mungkin ada baiknya kita sesekali berhenti, seperti di lampu merah. Menatap angka yang menurun di penghitung waktu dan merenungkan arti dari setiap detik yang berlalu. Karena pada akhirnya, hidup tidak hanya tentang apa yang kita kejar, tetapi juga tentang apa yang kita alami di sepanjang jalan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H