Mohon tunggu...
Beryn Imtihan
Beryn Imtihan Mohon Tunggu... Konsultan - Penikmat Kopi

Saat ini mengabdi pada desa. Kopi satu-satunya hal yang selalu menarik perhatiannya...

Selanjutnya

Tutup

Diary Artikel Utama

Berbagi Hikmah di Pinggir Jalan, Belajar dari Pedagang Es Krim Keliling

15 Januari 2025   08:16 Diperbarui: 16 Januari 2025   21:42 102
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Di siang yang mulai meredup, suasana Dusun Bentek terasa lengang. Matahari, yang sebentar lagi tenggelam, memancarkan sinarnya dengan lembut, membentuk bayangan panjang di atas jalan setapak.

Saya menghentikan kendaraan di depan sebuah mushola kecil di pinggir jalan. Mushola itu sederhana, tapi teduh—tempat yang pas untuk menunaikan sholat ashar sepulang dari kegiatan pendampingan.

Saat mengambil wudhu, terdengar samar suara percakapan dua orang di sudut mushola. Suara mereka saling bersahutan, pelan tapi jelas, membahas sesuatu yang terdengar serius. Percikan air mengiringi suara itu, seolah menjadi musik latar di keheningan sore.

Ketika menoleh, saya melihat dua pedagang es krim keliling sedang duduk bersila, masing-masing dengan gerobak kecil berisi es krim di sisi mereka. Mereka berbincang dengan nada yang serius tapi akrab.

Yang satu, mungkin usianya lebih tua, tampak seperti seorang “senior” dalam profesi mereka. Wajahnya teduh, dengan senyum yang hampir selalu mengembang. Ia tengah berbicara kepada temannya, yang sepertinya lebih muda. Sesekali si teman mengangguk, mendengarkan dengan saksama.

“Semua orang punya cerita,” ujar si pedagang yang lebih tua. “Perjalanan hidup itu rumit. Badai ujian datang bertubi-tubi. Kecewa kadang bikin kita berhenti, tapi lihat kita sekarang, toh semuanya bisa terlewati,” sambungnya dengan perlahan.

“Kuncinya ya, jalani saja. Semua sudah ada bagiannya. Sungguh Allah Maha Tahu segalanya.” Kalimat itu menggema di kepala saya, menjadi pengingat akan pentingnya berserah diri. Pesan sederhana, namun penuh makna, mengajarkan saya bahwa setiap perjalanan memiliki takdir yang telah tertulis.

Saya teringat pada buku Man’s Search for Meaning karya Viktor Frankl (2006), seorang psikoterapis yang bertahan dari Holocaust. Dalam bukunya, Frankl menegaskan bahwa hidup tidak selalu tentang apa yang kita dapatkan, melainkan bagaimana kita merespons apa yang terjadi.

Saat ujian menghantam, yang menentukan adalah bagaimana kita menyesuaikan diri dan terus berjalan. Pedagang es krim itu, tanpa gelar atau teori yang rumit, sedang menyampaikan hikmah yang sama, bahwa hidup adalah tentang bertahan dan menerima.

Perjalanan pedagang es krim seperti mereka bukanlah perjalanan mudah. Setiap hari, dengan gerobak kecil, mereka menyusuri jalanan desa hingga kota, menembus terik matahari, hujan deras, bahkan kerap kali hanya mendapat hasil yang pas-pasan.

Namun, mereka tetap melakukannya. Barangkali ada dorongan kuat di balik itu semua—keluarga yang harus dihidupi, anak-anak yang perlu disekolahkan, atau hanya sekadar rasa tanggung jawab untuk bekerja.

Pedagang es krim: “Hidup adalah tentang bertahan dan menerima.” (sumber: infopublik.id)
Pedagang es krim: “Hidup adalah tentang bertahan dan menerima.” (sumber: infopublik.id)

Percakapan singkat di mushola itu mengingatkan saya pada hasil penelitian Clifford Geertz tentang ethos pedagang kecil di Jawa dalam bukunya The Religion of Java (1960). Geertz mencatat, pedagang kecil cenderung memiliki semangat pantang menyerah yang lahir dari kombinasi nilai-nilai agama dan budaya.

Mereka percaya bahwa rezeki telah diatur oleh Tuhan, dan yang bisa dilakukan hanyalah berusaha semaksimal mungkin. Keyakinan seperti ini, meskipun tampak sederhana, menjadi fondasi kuat yang menopang langkah mereka.

Setelah selesai sholat, saya mendekati kedua pedagang itu. Kami berbincang sebentar. Si senior memperkenalkan dirinya sebagai Pak Mahsin, sementara temannya adalah Surya, seorang pemuda berusia 25 tahun yang baru beberapa bulan bekerja sebagai pedagang es krim keliling.

Surya mengaku sempat merasa putus asa di awal. “Kadang seharian muter, es krim nggak habis. Tapi Bapak Mahsin bilang, ‘Jangan menyerah. Semua ada waktunya. Yang penting ikhtiar.’”

Pak Mahsin tersenyum mendengar pengakuan Surya. “Hidup itu seperti jualan es krim,” katanya kepada saya, dengan logat Sasak meno mene yang kental. “Kadang laku, kadang nggak. Kadang hari terasa manis, kadang pahit. Tapi kita harus jalan terus. Kalau berhenti, ya habis sudah.”

Perumpamaannya membuat tertegun. Hidup, memang seperti itu. Tidak selalu manis, penuh rintangan dan liku, tapi selalu ada harapan. Seperti mentari yang muncul setelah badai, hidup mengajarkan kita untuk terus melangkah, menemukan cahaya di ujung perjalanan.

Dalam perjalanan pulang, pikiran saya terus berkutat pada obrolan sederhana itu. Ada pelajaran besar dari mereka, tentang keikhlasan dan ketekunan. Mungkin, dalam dunia yang serba kompetitif ini, kita sering melupakan makna ikhlas.

Kita sering terjebak dalam ambisi tanpa henti, melupakan bahwa setiap perjalanan, seberat apa pun, mengandung hikmah. Dalam kesulitan, tersembunyi pelajaran berharga yang membentuk diri, mengingatkan bahwa kebahagiaan sejati tak hanya terletak pada tujuan, tetapi juga prosesnya.

Pesan Pak Mahsin mengingatkan pada tulisan Jalaluddin Rumi, penyair sufi besar: “Kesulitan mempersiapkanmu untuk takdir yang lebih besar.” Rumi mengajarkan bahwa penderitaan bukan akhir, melainkan pintu menuju kedewasaan, pembelajaran, dan kebijaksanaan dalam menjalani hidup.

Dalam The Essential Rumi (Barks, 1995), ia menulis bahwa manusia sering kali tidak menyadari rencana Tuhan di balik kesulitan yang mereka hadapi. Namun, dengan ketekunan dan keyakinan, jalan keluar akan selalu ditemukan.

Cerita pedagang es krim ini, bagi saya, adalah pengingat. Bahwa tidak peduli sesederhana apa pun pekerjaan atau peran kita di masyarakat, selalu ada nilai-nilai luhur yang bisa kita pelajari. Tidak ada hidup yang bebas dari ujian. Namun, seperti yang dikatakan Pak Mahsin, “Semua akan berlalu.”

Esok harinya, saya melintasi jalan yang sama. Mushola kecil itu masih berdiri di sana, teduh seperti biasa. Saya tidak lagi melihat Pak Mahsin atau Surya, tapi percakapan mereka tetap terpatri di ingatan.

Di tengah kesibukan dan dinamika hidup, kita sering lupa untuk berhenti sejenak, merenung, dan mencari makna. Namun, kadang-kadang, inspirasi datang dari tempat yang tidak terduga—seperti dari pedagang es krim keliling di pinggir jalan.

Mungkin, inilah yang dimaksud dengan hidup dalam keberserahan. Jalani saja, karena setiap langkah, meski berat, selalu memiliki bagian dan waktunya sendiri. Dan sungguh, seperti yang dikatakan Pak Mahsin, “Allah Maha Tahu segalanya.”

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun