Namun, mereka tetap melakukannya. Barangkali ada dorongan kuat di balik itu semua—keluarga yang harus dihidupi, anak-anak yang perlu disekolahkan, atau hanya sekadar rasa tanggung jawab untuk bekerja.
Percakapan singkat di mushola itu mengingatkan saya pada hasil penelitian Clifford Geertz tentang ethos pedagang kecil di Jawa dalam bukunya The Religion of Java (1960). Geertz mencatat, pedagang kecil cenderung memiliki semangat pantang menyerah yang lahir dari kombinasi nilai-nilai agama dan budaya.
Mereka percaya bahwa rezeki telah diatur oleh Tuhan, dan yang bisa dilakukan hanyalah berusaha semaksimal mungkin. Keyakinan seperti ini, meskipun tampak sederhana, menjadi fondasi kuat yang menopang langkah mereka.
Setelah selesai sholat, saya mendekati kedua pedagang itu. Kami berbincang sebentar. Si senior memperkenalkan dirinya sebagai Pak Mahsin, sementara temannya adalah Surya, seorang pemuda berusia 25 tahun yang baru beberapa bulan bekerja sebagai pedagang es krim keliling.
Surya mengaku sempat merasa putus asa di awal. “Kadang seharian muter, es krim nggak habis. Tapi Bapak Mahsin bilang, ‘Jangan menyerah. Semua ada waktunya. Yang penting ikhtiar.’”
Pak Mahsin tersenyum mendengar pengakuan Surya. “Hidup itu seperti jualan es krim,” katanya kepada saya, dengan logat Sasak meno mene yang kental. “Kadang laku, kadang nggak. Kadang hari terasa manis, kadang pahit. Tapi kita harus jalan terus. Kalau berhenti, ya habis sudah.”
Perumpamaannya membuat tertegun. Hidup, memang seperti itu. Tidak selalu manis, penuh rintangan dan liku, tapi selalu ada harapan. Seperti mentari yang muncul setelah badai, hidup mengajarkan kita untuk terus melangkah, menemukan cahaya di ujung perjalanan.
Dalam perjalanan pulang, pikiran saya terus berkutat pada obrolan sederhana itu. Ada pelajaran besar dari mereka, tentang keikhlasan dan ketekunan. Mungkin, dalam dunia yang serba kompetitif ini, kita sering melupakan makna ikhlas.
Kita sering terjebak dalam ambisi tanpa henti, melupakan bahwa setiap perjalanan, seberat apa pun, mengandung hikmah. Dalam kesulitan, tersembunyi pelajaran berharga yang membentuk diri, mengingatkan bahwa kebahagiaan sejati tak hanya terletak pada tujuan, tetapi juga prosesnya.
Pesan Pak Mahsin mengingatkan pada tulisan Jalaluddin Rumi, penyair sufi besar: “Kesulitan mempersiapkanmu untuk takdir yang lebih besar.” Rumi mengajarkan bahwa penderitaan bukan akhir, melainkan pintu menuju kedewasaan, pembelajaran, dan kebijaksanaan dalam menjalani hidup.