Mohon tunggu...
Beryn Imtihan
Beryn Imtihan Mohon Tunggu... Konsultan - Penikmat Kopi

Saat ini mengabdi pada desa. Kopi satu-satunya hal yang selalu menarik perhatiannya...

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Artikel Utama

SK TPP Tak Kunjung Rilis, Menanti Kepastian di Tengah Spekulasi

14 Januari 2025   14:45 Diperbarui: 15 Januari 2025   16:06 176
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Honor PLD yang dikabarkan akan naik menjadi Rp2.400.000 memberikan secercah harapan. Namun, kabar ini masih belum resmi, sehingga tidak mampu sepenuhnya menghapus kekhawatiran. Di sisi lain, terdapat lebih dari 500 TPP yang gagal mengunggah Standar Prosedur Operasional (SPO), menambah daftar panjang persoalan administratif yang perlu diselesaikan.

Ketidakpastian mengenai nasib Surat Keputusan (SK) Tenaga Pendamping Profesional (TPP) terus menjadi bahan perbincangan. Hingga kini, 14 Januari 2025, rilis SK yang sangat dinantikan belum terealisasi, menimbulkan keresahan di kalangan Tenaga Ahli (TA), Pendamping Desa (PD), dan Pendamping Lokal Desa (PLD).

Berbagai spekulasi bermunculan, mencoba menjelaskan akar permasalahan yang belum menemui titik terang. Ketidakjelasan ini memicu diskusi hangat di berbagai forum, mencerminkan kekhawatiran banyak pihak terhadap kepastian status dan keberlanjutan tugas para pendamping di lapangan.

Spekulasi pertama mengarah pada belum adanya Surat Keputusan Pejabat Pembuat Komitmen (PPK). Dalam struktur administrasi yang kompleks, peran PPK sangat krusial. Tanpa SK ini, segala keputusan administratif menjadi terganjal, menghambat berbagai proses penting dalam pelaksanaan program.

Hal serupa terjadi pada Kepala Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia (BPSDM), yang kabarnya juga belum menerima SK. Situasi ini semakin rumit dengan perubahan nama kementerian dari Kemendesa PDTT menjadi Kementerian Desa dan Daerah Tertinggal (PDT), menambah lapisan tantangan administratif.

Perubahan nama kementerian ini membawa dampak sistemik. Sekretaris Jenderal (Sekjen) dan beberapa pejabat penting lainnya katanya dimutasi ke kementerian lain, termasuk Kementerian Transmigrasi. Pergeseran ini memicu kevakuman dalam pengambilan keputusan di internal kementerian.

Situasi tersebut menggambarkan dampak restrukturisasi birokrasi terhadap program strategis. Dalam buku Bureaucracy and Development karya Fred W. Riggs (1964), restrukturisasi semacam ini diuraikan dapat menimbulkan implikasi serius, terutama pada efektivitas pelaksanaan kebijakan di institusi pemerintahan.

Proses penandatanganan Standard Operating Procedure (SOP) untuk TPP dikabarkan juga telah selesai, tetapi masih menunggu tanda tangan pejabat berwenang. Meski belum diresmikan, draft SOP ini memberikan gambaran awal mengenai perubahan besar yang akan diterapkan dalam sistem kerja TPP.

Setiap jenjang dalam TPP, seperti TA, PD, dan PLD, akan difokuskan pada bidang tertentu. Ada yang secara khusus menangani pengembangan Badan Usaha Milik Desa (BUMDes), pemberdayaan masyarakat, serta ketahanan pangan, sesuai dengan peran masing-masing jenjang.

Pendekatan ini sejalan dengan strategi pemberdayaan berbasis kebutuhan lokal. Strategi tersebut diuraikan oleh Robert Chambers dalam Rural Development: Putting the Last First (1983), yang menekankan pentingnya menempatkan kebutuhan masyarakat lokal sebagai prioritas utama dalam pembangunan pedesaan.

TPP memerlukan kepastian, setidaknya ada surat edaran dari pejabat terkait yang memberitahukan akan keberlanjutan dan tetap bekerja sambil menunggu SK, SPK, dan SPT rilis, sehingga TPP memiliki sedikit kejelasan dalam bekerja.

Di tengah ketidakpastian ini, muncul kabar bahwa SK dan Surat Perintah Tugas (SPT) akan diterbitkan paling lambat 1 Februari 2025. Perekrutan PLD baru direncanakan berlangsung pada Maret 2025, dengan spesifikasi yang disesuaikan.

Meski demikian, belum adanya kejelasan membuat TPP berada dalam dilema: apakah harus terus bekerja tanpa SK, SPT, dan Surat Perjanjian Kerja (SPK), ataukah menunggu hingga semua dokumen tersebut dirilis?

Kondisi ini menuntut adanya ketegasan dan langkah nyata dari kementerian terkait. Program pemberdayaan desa tidak dapat dibiarkan terganggu oleh masalah administratif.

Sebagai garda terdepan dalam pembangunan desa, TPP memiliki tanggung jawab besar memastikan program berjalan sesuai rencana. Namun, bekerja tanpa dasar hukum yang jelas adalah pilihan yang sulit dan penuh risiko.

Dalam konteks ini, diperlukan komitmen dari semua pihak untuk mempercepat proses administrasi. Kementerian perlu menunjukkan kepemimpinan yang kuat untuk mengurai simpul permasalahan ini.

Jika tidak, dampaknya tidak hanya dirasakan oleh TPP, tetapi juga oleh masyarakat desa yang menjadi sasaran utama program pemberdayaan. 

Sebagaimana diungkapkan dalam laporan World Development Report 2004: Making Services Work for Poor People, keberhasilan program pembangunan sangat bergantung pada efektivitas pelaksana di lapangan.

Bagi TPP, dilema ini memerlukan keputusan yang matang. Tetap bekerja tanpa SK, SPT, dan SPK berarti mengambil risiko hukum dan administratif. 

Namun, menunggu rilis dokumen juga berarti menunda pelaksanaan program yang sangat dibutuhkan masyarakat desa. Pilihan ini tidak mudah, terutama ketika mereka dihadapkan pada ekspektasi masyarakat yang terus menanti hasil nyata.

Kondisi ini seharusnya menjadi pelajaran penting bagi semua pihak. Administrasi yang lamban dan tidak responsif dapat merusak kepercayaan masyarakat terhadap program pemerintah. 

Oleh karena itu, percepatan rilis SK dan dokumen lainnya harus menjadi prioritas utama. Jika tidak, dampaknya akan jauh lebih besar daripada sekadar ketidakpuasan di kalangan TPP.

Keberlanjutan program pemberdayaan desa sangat bergantung pada sinergi antara pemerintah, TPP, dan masyarakat. 

Tanpa kepastian hukum yang jelas, sulit bagi TPP untuk menjalankan tugasnya dengan optimal. Di sisi lain, masyarakat desa juga berhak mendapatkan layanan terbaik yang dirancang untuk meningkatkan kesejahteraan mereka.

Pada akhirnya, situasi ini menuntut solusi yang cepat dan efektif. Semua pihak harus menyadari bahwa program pemberdayaan desa bukan hanya tentang administrasi, tetapi juga tentang tanggung jawab moral untuk memberikan yang terbaik bagi masyarakat. 

Dalam kata-kata Amartya Sen dalam Development as Freedom (1999), pembangunan adalah tentang memperluas kebebasan manusia. Oleh karena itu, setiap langkah harus diambil dengan tujuan yang jelas untuk mencapai visi tersebut.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun