Pagi tadi, dalam perjalanan menuju desa dampingan, saya melewati sebuah desa kecil yang terletak di kaki Gunung Sasak. Saat menunggu teman seperjalanan, saya diajak singgah dan nimbrung bersama sekelompok petani yang sedang berkumpul di bawah pohon rindang.
Mereka tampak menikmati secangkir kopi yang unik—kopi ini diseduh menggunakan air kelapa tua yang batoknya lebih dulu dibakar. Sebelum turun ke sawah, para petani berbagi cerita tentang keistimewaan kopi ini.
Menurut mereka, kopi yang diseduh dengan air kelapa memiliki rasa yang lebih ringan dan tidak terlalu pahit dibandingkan kopi biasa. Air kelapa dipercaya memberikan manfaat tambahan karena kandungan antioksidan dan nutrisinya, menciptakan cita rasa yang unik dan menyegarkan.
Kombinasi air kelapa membantu menyeimbangkan rasa asam dan pahit pada kopi, menciptakan harmoni rasa yang lebih lembut. Minuman ini juga diyakini dapat menurunkan tekanan darah. Pengalaman ini membuka wawasan tentang tradisi lokal dan kreativitas petani memanfaatkan alam.
Di sela-sela percakapan mereka, topik tentang hujan yang turun semalam, anak-anak yang berangkat sekolah dengan tawa, serta tubuh yang masih kuat bekerja di ladang menjadi cerita yang mengalir alami. Dalam pandangan mereka, semua itu adalah rezeki. Sebuah konsep yang sederhana tetapi begitu dalam, bahwa kebahagiaan tidak selalu tentang uang, melainkan tentang rasa cukup dan syukur.
Masyarakat desa memiliki cara unik dalam memandang hidup. Rezeki bagi mereka tidak hanya diukur dalam bentuk materi. Perasaan tenang, hati yang bahagia, kesehatan, hubungan sosial yang harmonis, hingga umur panjang dianggap sebagai karunia yang tak ternilai.
Filosofi ini mencerminkan kepercayaan mendalam pada kehendak Tuhan, yang sering kali membuat mereka enggan disebut miskin. Dalam pandangan mereka, selama kebutuhan dasar terpenuhi dan masih bisa berbagi dengan sesama, berarti hidup sudah layak (sugeh) dan patut disyukuri.
Hal ini senada dengan apa yang dicatat oleh Clifford Geertz dalam bukunya The Religion of Java. Geertz menjelaskan bahwa masyarakat agraris di Jawa memiliki pemahaman mendalam tentang konsep “cukup.” Mereka tidak berfokus pada kekayaan material, tetapi pada kebahagiaan dari kebutuhan dasar.
Kebutuhan tersebut mencakup makanan, tempat tinggal, dan hubungan sosial yang baik. Ketika kebutuhan ini terpenuhi, mereka merasa tidak ada alasan untuk mengeluh. Filosofi ini membantu masyarakat desa menjalani hidup dengan tabah, bahkan dalam tekanan ekonomi yang sulit.
Kepercayaan pada nilai-nilai ini juga diperkuat oleh ajaran agama. Dalam tradisi Islam, konsep syukur diajarkan sejak dini. Imam Al-Ghazali dalam kitab Ihya Ulumuddin menekankan pentingnya bersyukur atas segala yang dimiliki, baik kecil maupun besar.
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!