Di tengah euforia pelaksanaan Program Makan Bergizi Gratis (MBG), masyarakat Nusa Tenggara Barat (NTB) harus menahan rasa kecewa. Pelaksanaan program yang rencananya dimulai pada 6 Januari 2025 terpaksa ditunda. Kendala teknis menjadi alasan utama tertundanya pelaksanaan program unggulan Presiden Prabowo Subianto ini.
Rencananya, program ini harusnya dimulai, tetapi karena alasan teknis, seperti kesiapan peralatan dapur umum atau Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG), pelaksanaan MBG di NTB diundur. Penundaan ini bukan hanya terjadi di NTB, melainkan juga di beberapa daerah lainnya (Radarlombok, 07/01/2025).
Sebagai pendamping desa yang sering terlibat langsung dalam program pemerintah di tingkat lokal, penundaan ini menjadi masalah yang harus segera diselesaikan agar MBG dapat memberikan manfaat optimal bagi masyarakat, sehingga penantian mereka terwujud dalam bentuk jaminan gizi yang lebih baik untuk anak-anaknya.
Sasaran pertama dari program MBG di Kabupaten Lombok Tengah sejumlah 3.000 pelajar. Program ini dirancang untuk diberikan kepada pelajar mulai dari tingkat PAUD hingga SMA sederajat, serta ibu hamil. Bagi para pelajar, makanan bergizi ini akan diberikan dalam dua pola: sarapan bagi yang pulang lebih awal dan makan siang bagi yang pulang di atas jam 12.00 WITA.
Ada pertanyaan besar mengenai pelaksanaan untuk siswa yang masuk sekolah pada siang hari. Bagi mereka yang memulai sekolah setelah jam 12.00 WITA, apakah mereka akan kebagian makan siang atau justru harus menunggu sampai jam pulang mereka yang bisa berdekatan dengan waktu makan malam?
Ini menjadi salah satu tantangan dalam mengelola distribusi makanan agar tepat sasaran dan tidak terjadi ketimpangan bagi siswa yang memulai sekolah pada waktu yang lebih siang, sehingga semua siswa dapat merasakan manfaat program tanpa ada yang merasa dirugikan.
Sebagai seorang pendamping desa, saya melihat bahwa masalah distribusi waktu makan ini perlu mendapat perhatian serius. Meskipun program ini bertujuan untuk memastikan semua pelajar mendapat makanan bergizi, pelaksanaan yang terburu-buru tanpa mempertimbangkan waktu-waktu sekolah yang bervariasi akan mempengaruhi efektivitasnya.
Pelajar yang pulang lebih awal tentu akan mendapatkan manfaat langsung dari sarapan, sementara yang pulang lebih siang mungkin perlu penyesuaian lebih lanjut dalam hal waktu dan jenis makanan yang diberikan. Selain itu, penting untuk memastikan bahwa menu makanan yang diberikan tetap bergizi, mengingat variasi kebutuhan gizi anak-anak yang berbeda di setiap daerah.
Dari sudut pandang pendamping desa, penting untuk memahami bahwa program MBG tidak sekadar tentang pemberian makanan gratis, tetapi juga terkait dengan bagaimana pelaksanaan di lapangan dapat menciptakan dampak yang berkelanjutan. Keberhasilan program ini bergantung pada penerapan yang efektif dan berkelanjutan agar dapat memberikan manfaat jangka panjang bagi masyarakat.
Dalam konteks ini, kualitas dan keberlanjutan gizi yang diberikan sangat penting. Meskipun antusiasme masyarakat tinggi, pelaksanaan program yang terburu-buru tanpa persiapan yang matang dapat mengurangi efektivitas dan dampak positif yang diharapkan dari program ini, sehingga perlu perencanaan yang matang.
Melihat lebih dalam, program MBG memang berpotensi besar membantu mengurangi masalah gizi yang selama ini menjadi perhatian serius di banyak daerah, termasuk di NTB. Salah satu masalah utama yang dihadapi adalah kurangnya akses terhadap makanan bergizi, terutama keluarga miskin yang berada di wilayah-wilayah pelosok, mereka kesulitan mendapatkan bahan makanan yang cukup bergizi.
Program ini memberikan harapan baru, dengan memberikan akses langsung kepada anak-anak dan ibu hamil untuk mendapatkan makanan yang lebih seimbang. Namun, harapan tersebut harus disertai dengan pelaksanaan yang baik, terutama terkait dengan kualitas bahan makanan yang disediakan dan distribusinya yang tepat sasaran dan tepat waktu.
Di Lombok Tengah, sebagai contoh, meskipun 3.000 pelajar menjadi sasaran tahap pertama, jumlah siswa di bawah naungan Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Lombok Tengah mencapai 8.000 orang. Ini menunjukkan bahwa meskipun angka yang terlibat dalam tahap pertama tergolong signifikan, masih banyak pelajar lain yang belum mendapatkan manfaat langsung dari program ini.
Oleh karena itu, sangat diperlukan penambahan kuota pada tahap selanjutnya agar semakin banyak anak yang dapat merasakan manfaat program ini tanpa menimbulkan kecemburuan. Namun, yang terpenting adalah memastikan bahwa makanan yang disediakan memiliki nilai gizi yang tinggi dan sesuai dengan kebutuhan gizi masing-masing anak.
Sebagai pendamping desa yang terlibat dalam berbagai inisiatif sosial di daerah, percaya bahwa keberhasilan program ini sangat bergantung pada evaluasi berkelanjutan. Pemerintah perlu memantau dengan seksama pelaksanaan di lapangan, termasuk pemenuhan bahan makanan yang bergizi dan distribusi yang merata.
Peran aparat desa dan tenaga pendamping sangat vital untuk memastikan bahwa program ini sampai ke tangan yang membutuhkan, tanpa ada penyimpangan dalam prosesnya. Selain itu, meskipun program ini bertujuan mengurangi beban pengeluaran keluarga, tidak serta-merta masalah gizi dapat diselesaikan hanya dengan memberikan makanan gratis.
Pemahaman terhadap keberagaman kebutuhan gizi anak-anak di berbagai daerah, yang dapat berbeda-beda, merupakan tantangan besar bagi pemerintah dalam merancang menu yang sesuai. Setiap daerah memiliki kondisi dan kebutuhan spesifik, yang memerlukan pendekatan yang lebih tepat dan adaptif.
Mengenai menu yang disediakan dalam program ini, meskipun belum terlaksana di NTB, sudah memiliki gambaran bahwa makanan yang akan diberikan terdiri dari susu, telur, daging, sayuran, dan menu lainnya sesuai dengan aturan Badan Gizi Nasional. Namun, ada tantangan tersendiri dalam penerapannya. Tidak semua anak mungkin menyukai makanan yang disediakan.
Faktor preferensi dan kebiasaan makan anak-anak menjadi hal yang harus dipertimbangkan agar mereka tetap mengonsumsi makanan bergizi tersebut. Jika menu yang diberikan tidak sesuai dengan selera anak, maka tujuannya untuk memenuhi kebutuhan gizi mereka bisa saja tidak tercapai. Hal ini memerlukan evaluasi dan penyesuaian menu yang lebih fleksibel di masa mendatang.
Selain itu, meskipun program ini menawarkan makanan gratis, orangtua tetap perlu berhati-hati dan teliti, terutama dalam mengawasi pelaksanaannya. Banyak anak yang akan terlibat dalam program ini, dan potensi penyimpangan atau kesalahan dalam distribusi tentu saja ada.
Untuk itu, diperlukan pengawasan yang ketat, baik dari pihak pemerintah maupun masyarakat, untuk memastikan program ini berjalan dengan baik dan tepat sasaran. Selain itu, pengawasan juga penting untuk mencegah penyalahgunaan atau ketidaksesuaian dalam pengelolaan dana dan bahan makanan yang digunakan.
Secara keseluruhan, program Makan Bergizi Gratis memiliki potensi besar mengurangi masalah gizi di Indonesia, terutama bagi anak-anak dan ibu hamil yang menjadi sasaran utama. Seperti halnya program pemerintah lainnya, keberhasilan program ini sangat bergantung pada pelaksanaannya yang tepat, evaluasi berkelanjutan, dan komitmen semua pihak untuk menjaga keberlanjutannya.
Pemerintah perlu lebih mendengarkan masukan dari masyarakat langsung, atau dari mereka yang secara profesional mendampingi masyarakat desa, untuk memperbaiki dan menyempurnakan program MBG. Dengan melibatkan mereka dalam evaluasi dan perbaikan, diharapkan program ini dapat benar-benar memberikan manfaat maksimal bagi masyarakat yang membutuhkan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H