Rencana pemerintah mengadakan kembali Ujian Nasional (UN) menjadi topik pembicaraan yang muncul secara spontan antara pendamping desa dan orang tua murid, saat monitoring kegiatan pembagian Bantuan Langsung Tunai Dana Desa (BLT-DD). Wawancara ini dilakukan secara acak di lima desa yang ada di Kabupaten Lombok Tengah.
Pemerintah memandang Ujian Nasional sebagai salah satu aspek penting dalam sistem pendidikan Indonesia, yang berfungsi sebagai ukuran keberhasilan akademik siswa di seluruh tanah air (Kabarbisnis, 24/10/2024).
Bagi sebagian besar orang tua di desa-desa ini, kehadiran ujian ini justru menjadi sebuah dilema besar. Mereka merasa terjepit antara kewajiban mempersiapkan anak-anak mereka menghadapi ujian dan tantangan kehidupan sehari-hari yang penuh perjuangan.
Dalam wawancara dengan 21 orang tua siswa yang juga merupakan penerima Bantuan Langsung Tunai (BLT), hasilnya menunjukkan gambaran kompleks mengenai bagaimana mereka memandang UN. Sebagian besar orang tua menganggap Ujian Nasional sebagai patokan utama dalam menilai keberhasilan pendidikan anak-anak mereka.
Mereka juga mengungkapkan kekhawatiran bahwa persiapan untuk ujian ini membawa beban tambahan. Kegiatan belajar Dalam menghadapi ujian menghabiskan banyak waktu dan energi anak-anak, yang seharusnya bisa digunakan membantu keluarga bekerja memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Hal ini menunjukkan ketegangan antara harapan untuk keberhasilan pendidikan dan kenyataan ekonomi yang membatasi.
Sebanyak 28% orang tua menyetujui adanya Ujian Nasional, berpendapat bahwa UN adalah patokan untuk menilai keberhasilan pendidikan anak-anak mereka. Bagi mereka, UN menjadi penanda penting untuk mengetahui apakah anak-anak mereka berhasil mengikuti pendidikan yang baik atau tidak.
Mereka berharap ujian ini memberikan gambaran mengenai kualitas pendidikan yang diterima anak-anak mereka, yang pada gilirannya akan membuka peluang bagi masa depan yang lebih baik. Namun, harapan ini tidak sejalan dengan kenyataan yang ada.
Sebagian besar orang tua, sekitar 70%, menolak ujian ini. Mereka merasa bahwa persiapan ujian nasional memerlukan waktu dan biaya yang tidak sedikit.
“Anak-anak kami harus belajar ekstra keras, sementara kami tidak punya cukup uang untuk membeli buku atau bahan-bahan ujian lainnya. Mereka juga harus membantu kami bekerja di sawah, menjadi buruh tani, untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari,” ungkap salah satu orang tua siswa.
Mereka merasa bahwa fokus anak-anak mereka pada ujian akan mengganggu kegiatan sehari-hari yang lebih mendesak, seperti bekerja untuk membantu keluarga. Dengan situasi ekonomi yang sulit, mereka tidak melihat UN sebagai prioritas utama.