Mohon tunggu...
Beryn Imtihan
Beryn Imtihan Mohon Tunggu... Konsultan - Penikmat Kopi

Saat ini mengabdi pada desa. Kopi satu-satunya hal yang selalu menarik perhatiannya...

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Imbas Penghapusan Presidential Threshold, Mungkinkah TPP Jadi Rebutan Partai Politik?

5 Januari 2025   10:50 Diperbarui: 8 Januari 2025   04:54 791
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Pilkada(KOMPAS.COM/HANDOUT)

Mahkamah Konstitusi (MK) telah mengeluarkan putusan monumental yang menghapuskan ambang batas pencalonan presiden atau presidential threshold. Dengan keputusan ini, setiap partai politik peserta pemilu memiliki hak penuh mencalonkan presiden dan wakil presiden, tanpa terikat syarat persentase perolehan suara atau kursi di parlemen. Langkah ini memberikan angin segar bagi demokrasi Indonesia yang telah lama terjebak dalam dominasi partai besar.

Putusan ini, sebagaimana tertuang dalam perkara nomor 62/PUU-XXII/2024, menegaskan bahwa pencalonan kepala negara tidak boleh didasarkan pada angka tertentu yang membatasi peluang partai kecil. Di sisi lain, penghapusan ambang batas ini diiringi empat rambu penting yang dirancang guna menjaga keadilan dan integritas pemilu. 

Salah satunya, partai yang tidak mencalonkan pasangan calon dalam pemilu akan kehilangan hak untuk ikut serta dalam pemilu berikutnya. Rambu ini berpotensi mengubah strategi partai politik secara drastis.

Langkah MK ini membuka peluang lebih besar bagi munculnya wajah-wajah baru di lembaran surat suara. Tidak tertutup kemungkinan, bursa capres-cawapres akan lebih ramai dengan nama-nama yang sebelumnya hanya beredar di tingkat diskusi publik. 

Di balik optimisme itu, muncul pertanyaan mendasar, apakah iklim politik Indonesia siap menghadapi konsekuensi dari keputusan ini? Dalam konteks ini, penghapusan presidential threshold bukan hanya soal memberikan peluang, tetapi juga menyangkut kesiapan sistem politik dan masyarakat.

Jika benar TPP menjadi incaran, integritas mereka sebagai pendamping profesional akan diuji (sumber: AI Meta)
Jika benar TPP menjadi incaran, integritas mereka sebagai pendamping profesional akan diuji (sumber: AI Meta)

Bagi partai politik, ini adalah tantangan besar. Dengan banyaknya calon potensial, partai harus lebih kreatif dan inovatif dalam menentukan kandidat yang benar-benar mampu merepresentasikan aspirasi rakyat. 

Keputusan MK juga memaksa partai lebih serius membangun basis dukungan di akar rumput, mengingat setiap suara kini memiliki arti strategis dalam pencalonan. Fenomena ini diprediksi akan semakin mempertegas pergeseran politik dari elit ke massa.

Salah satu kelompok yang mungkin menjadi sorotan dalam dinamika ini adalah Tenaga Pendamping Profesional (TPP) Desa. Sebagai ujung tombak pembangunan di desa, TPP memiliki akses langsung ke masyarakat. 

Mereka adalah figur yang dipercaya, memiliki kapasitas, dan memahami permasalahan di lapangan. Dengan penghapusan presidential threshold, tidak menutup kemungkinan TPP menjadi rebutan partai politik untuk mendulang suara di desa.

Sebagaimana diungkapkan dalam berbagai kajian dan laporan mengenai pembangunan desa, TPP memainkan peran strategis dalam mendorong keberhasilan program pembangunan berbasis masyarakat. 

Pengalaman mereka dalam memberdayakan desa menjadikan mereka aset potensial bagi partai politik yang ingin memperkuat jaringan di tingkat lokal. Namun, apakah TPP siap menghadapi tarik-menarik politik ini?

Jika benar TPP menjadi incaran, integritas mereka sebagai pendamping profesional akan diuji. Sebagai pelaksana teknis yang dituntut netral, keterlibatan mereka dalam politik praktis bisa saja memengaruhi efektivitas kerja mereka di lapangan. 

Terlebih, peraturan tentang netralitas pendamping profesional masih menjadi pedoman yang mengikat (Kepmendes 40/2021). Dalam hal ini, revisi kebijakan mungkin diperlukan guna menyesuaikan dengan dinamika politik yang baru.

Di sisi lain, penghapusan presidential threshold juga membuka peluang bagi masyarakat desa untuk lebih terlibat dalam proses politik. Dengan semakin banyaknya calon, partisipasi politik masyarakat akan meningkat. 

Desa, sebagai basis suara yang besar, akan menjadi medan strategis bagi partai politik. TPP, yang memiliki pemahaman mendalam tentang dinamika desa, tentu berada di posisi strategis dalam memainkan peran kunci.

Efek dari keputusan ini tidak hanya berhenti di desa. Dalam skala yang lebih luas, penghapusan threshold akan memengaruhi konfigurasi politik nasional. Dengan lebih banyak kandidat, polarisasi di masyarakat mungkin meningkat. 

Hal ini mengingatkan kita pada pengalaman pemilu sebelumnya, di mana rivalitas politik sering kali berujung pada konflik horizontal di tingkat akar rumput (Liddle, 2019). Dalam konteks ini, partai politik dan tokoh masyarakat memiliki tanggung jawab memastikan bahwa dinamika pemilu tetap kondusif.

Keputusan MK ini juga memberikan pelajaran penting tentang demokrasi. Sistem politik yang inklusif adalah syarat mutlak bagi demokrasi yang sehat. Dengan memberi peluang lebih luas kepada partai kecil, demokrasi Indonesia semakin mendekati idealnya. 

Idealisme ini harus diimbangi dengan penguatan kapasitas kelembagaan partai politik. Tanpa itu, penghapusan threshold hanya akan menjadi peluang kosong yang tidak berdampak signifikan.

Bagi TPP dan pelaku pembangunan desa lainnya, ini adalah momentum untuk menunjukkan bahwa desa adalah pilar penting dalam demokrasi. Mereka harus mampu menjaga netralitas sekaligus memanfaatkan peluang ini untuk mendorong agenda pembangunan yang lebih inklusif. Dengan posisi strategis mereka, TPP menjadi katalisator perubahan, bukan hanya sebagai alat politik.

Dalam konteks partai politik, penghapusan ambang batas ini juga akan memengaruhi strategi koalisi. Selama ini, partai kecil sering kali harus bernegosiasi dengan partai besar agar dapat turut serta dalam pencalonan. Keputusan ini memungkinkan mereka maju sendiri tanpa harus bergantung pada kekuatan besar. 

Konsekuensinya, persaingan antarkandidat dari partai kecil mungkin menjadi lebih ketat. Dalam kondisi seperti ini, kredibilitas dan visi misi kandidat akan menjadi faktor penentu.

Di sisi lain, keputusan MK juga memberikan tantangan baru bagi pemilih. Dengan lebih banyak pilihan kandidat, masyarakat dituntut lebih cerdas dalam memilih pilihannya. 

Edukasi politik menjadi sangat penting guna memastikan bahwa pemilih memahami visi dan program kandidat yang mereka dukung. Dalam hal ini, media massa dan organisasi masyarakat sipil memiliki peran besar memberikan informasi yang objektif dan mendidik.

Keputusan ini juga tidak lepas dari potensi implikasi hukum. Pengaturan lebih lanjut oleh pembentuk undang-undang, sebagaimana diamanatkan MK, harus dilakukan dengan partisipasi masyarakat secara bermakna. Tanpa itu, penghapusan threshold berisiko menghadapi hambatan dalam implementasinya. 

Oleh karena itu, pemerintah dan parlemen harus bekerja sama untuk memastikan bahwa regulasi yang dihasilkan benar-benar mencerminkan semangat keputusan MK.

Pada tataran lokal, efek keputusan ini akan sangat terasa. Partai politik kemungkinan besar akan meningkatkan intensitas kampanye di daerah pedesaan. Desa-desa yang sebelumnya dianggap kurang strategis dalam perhitungan politik mungkin kini menjadi fokus perhatian. 

Pada konteks ini, TPP berada di persimpangan. Mereka menjadi agen perubahan yang membantu masyarakat memahami dinamika politik baru ini atau justru terjebak dalam tarik-menarik kepentingan.

Dalam jangka panjang, penghapusan presidential threshold mendorong munculnya kandidat independen yang lebih kompetitif. Ini adalah peluang besar bagi Indonesia untuk memperkuat sistem demokrasi yang berbasis pada kompetensi dan integritas, bukan sekadar dominasi partai besar. Peluang ini hanya bisa terwujud jika semua pihak berkomitmen menjaga proses demokrasi tetap berjalan dengan baik.

Pada akhirnya, keputusan MK ini adalah langkah maju bagi demokrasi Indonesia. Namun, langkah ini harus diiringi dengan kesiapan semua pihak menghadapi dinamika yang baru. Partai politik, masyarakat, dan pelaku pembangunan harus bekerja sama memastikan bahwa perubahan ini benar-benar membawa manfaat bagi bangsa. Tanpa itu, penghapusan presidential threshold hanya akan menjadi catatan sejarah tanpa dampak nyata.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun