Generasi Z tumbuh di tengah perubahan global yang begitu cepat. Mereka lahir di era digital, yang memungkinkan mereka memiliki akses luas terhadap informasi dan teknologi.Â
Di sisi lain, tantangan pendidikan, terutama di desa-desa Indonesia, masih menjadi pekerjaan rumah yang besar. Bagaimana desa dapat memanfaatkan potensi generasi ini? Bagaimana pendidikan nonformal dapat menjadi solusi untuk membangun desa yang cerdas dan tangguh?
Kelebihan Generasi Z dalam hal pendidikan terletak pada kemampuan mereka belajar secara mandiri. Mereka akrab dengan teknologi dan mampu memanfaatkan platform pembelajaran daring.
Generasi ini juga memiliki semangat yang tinggi mencoba hal baru dan cenderung berpikir kritis. Dalam konteks desa, potensi ini menjadi peluang besar mengembangkan sumber daya manusia yang lebih unggul.
Generasi Z juga memiliki kelemahan. Ketergantungan pada teknologi menyebabkan kurangnya keterampilan sosial dan rasa empati. Di desa-desa, akses teknologi belum merata.
Hal ini memperlebar kesenjangan antara mereka yang tinggal di pusat desa dengan yang berada di wilayah terpencil. Kelemahan lainnya adalah minimnya keterampilan praktis karena sebagian besar perhatian mereka terserap oleh dunia maya.
Lombok Barat, dengan 125 desa dan 612 lembaga pendidikan nonformal, menunjukkan bahwa ada potensi besar meningkatkan kualitas pendidikan nonformal. Data Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (2025) mencatat bahwa pendidikan formal di Lombok Barat mencapai 1.062 satuan pendidikan.
Kecamatan Sekotong, misalnya, memiliki 98 lembaga pendidikan nonformal, jumlah tertinggi dibanding kecamatan lain. Sementara Kecamatan Gerung memiliki 151 lembaga pendidikan formal, yang menjadi peluang sinergi antara pendidikan formal dan nonformal.
Langkah strategis pertama yang bisa dilakukan desa adalah memanfaatkan Dana Desa untuk membangun pusat belajar komunitas (community learning center). Pusat ini dapat menjadi tempat pelatihan keterampilan praktis seperti bertani organik, keterampilan digital, hingga manajemen usaha kecil.
Di Sekotong, misalnya, dengan jumlah lembaga nonformal yang tinggi, pusat ini dapat menjadi wadah kolaborasi antarlembaga untuk berbagi sumber daya dan meningkatkan kualitas pembelajaran.