Malam Tahun Baru adalah salah satu momen yang paling dinanti oleh banyak orang di berbagai belahan dunia. Namun, pertanyaan sederhana seperti “Malam Tahun Baru hari apa?” dapat membawa pada refleksi yang lebih dalam, khususnya dari perspektif seorang pendamping desa yang sehari-hari berkutat dengan realitas sosial masyarakat.
Jika ditinjau secara literal, jawaban atas pertanyaan tersebut tergantung pada kalender tahunan. Pada tahun 2024, misalnya, malam Tahun Baru jatuh pada hari Selasa. Namun, pertanyaan ini bisa ditafsirkan secara simbolis: apakah malam Tahun Baru hanya sekadar soal hari dalam seminggu, ataukah ada makna lain yang lebih penting? Sebagai pendamping desa, sering kali melihat bagaimana pergantian tahun diperlakukan dengan beragam makna oleh masyarakat desa.
Dalam konteks pembangunan desa, malam Tahun Baru adalah momen refleksi bagi sebagian kecil masyarakat, tetapi bagi yang lain, ia adalah sekadar hiburan. Dalam riset yang dilakukan oleh Susanto (2020) dalam jurnal “Sosiologi Pedesaan Indonesia,” ditemukan bahwa momen Tahun Baru sering kali dimanfaatkan untuk hiburan massal seperti pasar malam atau konser dangdut, yang mendominasi kehidupan masyarakat desa dibandingkan refleksi tentang perubahan sosial.
Pendamping desa memahami bahwa waktu adalah komoditas maha penting dalam pembangunan. Pergantian tahun adalah penanda waktu, tetapi juga momentum menilai apa yang sudah dan belum dicapai. Dalam buku “Time and Social Structure” karya Giddens (1984), waktu dipandang sebagai elemen fundamental membangun struktur sosial. Namun, sejauh mana masyarakat desa benar-benar melihat pergantian tahun sebagai peluang untuk menata ulang kehidupan mereka? Di sinilah tantangan muncul.
Realitas di lapangan menunjukkan bahwa masyarakat desa cenderung melihat malam Tahun Baru sebagai momen yang jauh dari nilai produktivitas. Alih-alih merenungkan apa yang bisa diperbaiki, banyak dari mereka lebih fokus pada perayaan konsumtif. Hal ini bukan tanpa alasan.
Dalam artikel Kompas edisi Desember 2023, misalnya, menunjukkan bahwa perayaan Tahun Baru di Indonesia, termasuk di daerah pedesaan, umumnya identik dengan pesta kembang api dan hiburan.
Sebagai pendamping desa, sering kali dihadapkan pada pertanyaan, bagaimana mengubah pola pikir ini? Jawabannya tidak sesederhana mengubah tradisi. Pergantian tahun adalah bagian dari siklus kehidupan yang sudah lama diwariskan, tetapi di sisi lain, ia juga mencerminkan prioritas masyarakat.
Jika prioritasnya adalah hiburan, maka harus ditanyakan, apakah pembangunan desa sudah cukup relevan dengan kebutuhan masyarakat? Apakah program yang dirancang mampu menyentuh esensi kehidupan mereka sehari-hari?
Dalam pandangan kritis, malam Tahun Baru juga bisa dilihat sebagai cerminan dari ketimpangan informasi antara desa dan kota. Di kota, malam Tahun Baru sering kali dikaitkan dengan resolusi pribadi dan perencanaan strategis, sementara di desa, momentum ini lebih sering dijadikan alasan untuk mengadakan acara komunitas. Dalam penelitian yang dilakukan oleh Widianto (2021) tentang dinamika masyarakat pedesaan, disebutkan bahwa 70 persen warga desa menganggap malam Tahun Baru hanya sebagai hiburan kolektif.
Namun, bukan berarti momen ini sepenuhnya kehilangan makna. Bagi sebagian kecil masyarakat desa, malam Tahun Baru adalah kesempatan untuk merenungkan perjalanan hidup mereka. Pendamping desa dapat memanfaatkan peluang ini untuk menginisiasi diskusi yang lebih substantif.
Misalnya, bagaimana jika malam Tahun Baru dijadikan waktu untuk membahas 18 fokus program Dana Desa yang akan datang? Bagaimana jika refleksi ini diintegrasikan dengan pendekatan budaya yang sudah ada?
Pendekatan berbasis budaya dalam memaknai malam Tahun Baru adalah salah satu jalan keluar yang potensial. Sebagai contoh, dalam tradisi masyarakat Sasak di Lombok, malam-malam penting sering kali diisi dengan kegiatan keagamaan seperti doa bersama atau pengajian.
Sebagai pendamping desa, masyarakat desa bisa didorong menggabungkan tradisi ini dengan perencanaan desa yang lebih strategis. Seperti yang dikatakan oleh Clifford Geertz dalam “The Interpretation of Cultures” (1973), budaya adalah jembatan yang dapat menghubungkan nilai-nilai tradisional dengan kebutuhan modern.
Namun, mengubah persepsi masyarakat tidaklah mudah. Dibutuhkan kerja sama antara pemangku kepentingan, mulai dari pemerintah desa, tokoh adat, hingga generasi muda. Dalam banyak kasus, generasi muda sering kali menjadi motor penggerak perubahan.
Malam Tahun Baru, dalam perspektif pendamping desa, bukan sekadar momen pergantian kalender. Ia adalah simbol dari peluang yang bisa dimanfaatkan atau disia-siakan. Pergantian tahun adalah saat yang tepat untuk merancang strategi baru dalam pembangunan desa, tetapi juga waktu untuk mengevaluasi apa yang telah dilakukan selama ini.
Akhirnya, malam Tahun Baru akan tetap menjadi hari apa pun yang ditentukan oleh kalender. Namun, bagi masyarakat desa dan para pendampingnya, pertanyaan yang lebih penting adalah: “Apa yang akan dilakukan untuk membuat tahun yang baru menjadi lebih baik?”
Jawaban atas pertanyaan ini, tentu saja, terletak pada seberapa besar kemampuan memanfaatkan waktu dan peluang yang ada. Karena pada akhirnya, hari dalam seminggu tidak sepenting makna yang diberi pada setiap detiknya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H