Misalnya, bagaimana jika malam Tahun Baru dijadikan waktu untuk membahas 18 fokus program Dana Desa yang akan datang? Bagaimana jika refleksi ini diintegrasikan dengan pendekatan budaya yang sudah ada?
Pendekatan berbasis budaya dalam memaknai malam Tahun Baru adalah salah satu jalan keluar yang potensial. Sebagai contoh, dalam tradisi masyarakat Sasak di Lombok, malam-malam penting sering kali diisi dengan kegiatan keagamaan seperti doa bersama atau pengajian.
Sebagai pendamping desa, masyarakat desa bisa didorong menggabungkan tradisi ini dengan perencanaan desa yang lebih strategis. Seperti yang dikatakan oleh Clifford Geertz dalam “The Interpretation of Cultures” (1973), budaya adalah jembatan yang dapat menghubungkan nilai-nilai tradisional dengan kebutuhan modern.
Namun, mengubah persepsi masyarakat tidaklah mudah. Dibutuhkan kerja sama antara pemangku kepentingan, mulai dari pemerintah desa, tokoh adat, hingga generasi muda. Dalam banyak kasus, generasi muda sering kali menjadi motor penggerak perubahan.
Malam Tahun Baru, dalam perspektif pendamping desa, bukan sekadar momen pergantian kalender. Ia adalah simbol dari peluang yang bisa dimanfaatkan atau disia-siakan. Pergantian tahun adalah saat yang tepat untuk merancang strategi baru dalam pembangunan desa, tetapi juga waktu untuk mengevaluasi apa yang telah dilakukan selama ini.
Akhirnya, malam Tahun Baru akan tetap menjadi hari apa pun yang ditentukan oleh kalender. Namun, bagi masyarakat desa dan para pendampingnya, pertanyaan yang lebih penting adalah: “Apa yang akan dilakukan untuk membuat tahun yang baru menjadi lebih baik?”
Jawaban atas pertanyaan ini, tentu saja, terletak pada seberapa besar kemampuan memanfaatkan waktu dan peluang yang ada. Karena pada akhirnya, hari dalam seminggu tidak sepenting makna yang diberi pada setiap detiknya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H