Mohon tunggu...
Beryn Imtihan
Beryn Imtihan Mohon Tunggu... Konsultan - Penikmat Kopi

Saat ini mengabdi pada desa. Kopi satu-satunya hal yang selalu menarik perhatiannya...

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Resolusi Desember: Saat Asa Mulai Bersemi

29 Desember 2024   23:48 Diperbarui: 29 Desember 2024   23:48 48
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Resolusi Desember, saat asa mulai bersemi (sumber: chatbot AI Meta)

Ia memulai harinya seperti biasa, menikmati kopi pagi dengan aroma khas yang mengingatkan pada kampung halamannya, sebuah tempat di mana ia merasa sepenuhnya menjadi bagian dari kehidupan.

Sudah satu tahun setengah ia bekerja di daerah asalnya, sebuah kesempatan yang tak hanya memberinya pekerjaan, tetapi juga kebahagiaan sederhana, berbagi tawa dengan keluarga, menyaksikan santri pergi mengaji, dan mendengar adzan berkumandang seperti bersahutan. Namun, seperti yang sering terjadi dalam hidup, kenyamanan itu tidak berlangsung lama.

Arahan itu tiba bagai angin kencang yang tak terduga, tepat ketika ia tengah fokus mendampingi desa dalam proses pembaruan data SDGs Desa. Tanpa peringatan, ia menerima pesan berisi SK penempatan ke lokasi baru, disampaikan tanpa klarifikasi, tanpa pemanggilan, dan tanpa penjelasan apa pun.

Keputusan telah diambil: ia harus dipindahkan ke wilayah lain, jauh dari rumah. Alasannya tidak diungkapkan secara langsung, namun ia menyadari ini adalah dampak dari keputusannya untuk tidak tunduk pada arahan politik yang seharusnya tidak relevan dengan pekerjaannya. Ia menerima keputusan itu dengan getir, tetapi tetap bersikap profesional. “Mungkin inilah bagian dari takdir,” pikirnya.

Di lokasi baru, kenyataan yang ia hadapi terasa seperti dunia yang sama sekali berbeda. Desa ini tidak hanya jauh secara geografis, tetapi juga secara kultural. Ia mencoba menginisiasi pembaruan data SDGs Desa, namun di tempat baru ini, tugas tersebut terasa seperti mendorong mobil tanpa roda.

Segala sesuatunya berat dan lambat. Sepertinya semua orang di desa ini sudah sangat kecewa dengan kondisi sebelumnya. Program-program pembangunan yang hanya berjalan setengah hati, janji-janji pemerintah yang tidak terealisasi, dan perasaan ditinggalkan oleh otoritas membuat semangat mereka nyaris padam.

Namun, ia tidak ingin menyerah. Ia tahu betul betapa pentingnya data SDGs Desa sebagai fondasi pembangunan. Ia memutar otak, mencari jalan lain agar program ini bisa tetap berjalan. Ia mulai menyusun strategi dengan mendekati perangkat desa, berbincang santai di sela-sela kegiatan mereka.

Namun, usaha ini tidak membuahkan hasil yang berarti. Beberapa perangkat desa bahkan secara terang-terangan mengatakan bahwa mereka tidak percaya program ini akan membawa perubahan apa pun. Sebagai pendamping, ia hanya bisa menarik napas panjang.

Kemudian ia teringat sesuatu. Saat masih di lokasi sebelumnya, ia pernah menggunakan media sebagai alat menggaungkan pentingnya data SDGs Desa. Ia pun memutuskan untuk mencoba pendekatan yang sama di tempat ini.

Lewat unggahan sederhana di grup WhatsApp desa, ia mulai menjelaskan kemahapentingan data SDGs Desa. Dengan bahasa yang mudah dipahami, ia membuat infografis kecil yang menjelaskan bagaimana data yang akurat dapat menjadi dasar bagi kebijakan pembangunan desa, seperti pengadaan infrastruktur, program pemberdayaan ekonomi, hingga pendidikan.

Tidak berhenti di situ, ia juga mencoba berbicara langsung kepada masyarakat melalui pertemuan formal. Ia mendatangi musyawarah-musyawarah reguler maupun khusus, mencuri kesempatan menjelaskan manfaat data SDGs Desa.

Ia sadar bahwa perubahan besar harus dimulai dari langkah kecil. Meskipun respons yang ia terima beragam, ia tetap yakin bahwa usahanya ini lambat laun akan membuahkan hasil.

Pekerjaan ini membuatnya sering merasa kesepian. Ia menyebutnya sebagai “menggaungkan sendiri” pentingnya data SDGs Desa. Namun, di balik rasa lelah itu, ada sebersit harapan. Ia yakin bahwa perubahan, sekecil apa pun, pasti dimulai dari keberanian untuk melangkah. Ia teringat pesan gurunya saat masih belajar dulu, “Jangan pernah menunggu orang lain memulai. Jika kamu percaya sesuatu itu benar, maka jalanilah, meski seorang diri.”

Tepat menjelang tutup tahun di bulan Desember, sebuah pesan masuk ke WhatsApp-nya. Pesan itu berasal dari salah satu perangkat desa yang sebelumnya sangat skeptis. Dalam pesan tersebut, perangkat desa itu meminta dijelaskan lebih lanjut tentang data SDGs Desa. Hati kecilnya bersorak. Setelah berminggu-minggu berbicara seperti angin lalu, akhirnya ada seseorang yang menunjukkan ketertarikan.

Ia segera merespons pesan itu dengan antusias. Mereka mengatur pertemuan di kantor desa. Dalam pertemuan tersebut, ia mempresentasikan data yang sudah ia kumpulkan, menjelaskan betapa besar manfaat yang bisa dirasakan jika desa memiliki data yang akurat.

Ia memberikan contoh-contoh nyata dari desa lain yang berhasil menggunakan data SDGs untuk memperoleh bantuan pemerintah dan donor. Perlahan, ia melihat perubahan di wajah perangkat desa itu—dari skeptis menjadi penuh perhatian.

Pertemuan itu menjadi titik awal yang menguatkan langkahnya. Ia mulai mendapat dukungan dari perangkat desa lainnya. Mereka menyusun rencana kerja untuk pembaruan data, termasuk melibatkan kelompok masyarakat yang selama ini pasif. Prosesnya tidak mudah, tetapi setidaknya kini ia tidak lagi berjalan sendirian. Ia merasa bahwa inilah resolusi tahun 2025 yang sudah ia tunggu-tunggu.

Narasi perjalanan ini mengingatkannya pada kisah dalam filmThe Pursuit of Happyness.” Seperti Chris Gardner yang terus berjuang meski diterpa berbagai cobaan, ia juga merasa dirinya berada dalam posisi serupa.

Chris menghadapi tantangan besar ketika ia kehilangan tempat tinggal dan harus menjaga anaknya, tetapi ia tetap teguh dan percaya pada visi yang lebih besar. Dalam momen-momen sulit, Chris menggunakan setiap peluang kecil untuk membuktikan kemampuannya, bahkan saat ia merasa sendirian di dunia.

Dalam tulisan ini, ia merasa terhubung dengan Chris Gardner. Kedua cerita ini mengajarkan bahwa perjuangan tidak selalu tentang mendapatkan hasil instan, tetapi tentang keyakinan dan kerja keras yang tak pernah putus.

Sama seperti Chris akhirnya mencapai kebahagiaannya, ia berharap bahwa usaha kecilnya untuk memperbarui data SDGs Desa ini akan membawa dampak besar bagi desa yang ia dampingi.

Di akhir Desember, ia kembali merenungkan perjalanannya. Perubahan memang membutuhkan waktu, dan ia sadar bahwa apa yang ia mulai mungkin belum akan menunjukkan hasil besar dalam waktu dekat. Tetapi, ia percaya bahwa langkah kecil ini akan menjadi pijakan penting untuk masa depan.

Dengan secangkir kopi di tangan, ia kembali memandang bukit yang terlihat dari jendela kantor barunya. Kali ini, ia tersenyum. Bagi seorang pendamping desa, perjuangan seperti ini adalah bagian dari jalan hidup yang ia pilih, dan ia tahu betul bahwa setiap langkah kecil adalah bentuk kontribusinya untuk perubahan besar.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun