Mohon tunggu...
Beryn Imtihan
Beryn Imtihan Mohon Tunggu... Konsultan - Penikmat Kopi

Saat ini mengabdi pada desa. Kopi satu-satunya hal yang selalu menarik perhatiannya...

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

AI dan Masa Depan Pendamping Desa: Kolaborasi atau Kompetisi?

27 Desember 2024   11:03 Diperbarui: 28 Desember 2024   07:56 90
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
AI dan Masa Depan Pendamping Desa: Kolaborasi atau Kompetisi? (sumber: generator AI Meta)

Kehadiran Artificial Intelligence (AI) kini tidak lagi sekadar bagian dari kemajuan teknologi, tetapi telah menjadi elemen penting dalam berbagai lini kehidupan. AI membawa perubahan signifikan pada cara manusia berinteraksi, bekerja, hingga menjalani rutinitas sehari-hari (Gunkel, AI and Society, 2020).

Dalam dunia kerja, AI sering kali dipandang sebagai inovasi yang meningkatkan efisiensi. Hal ini mendorong diskusi mengenai potensi AI menggantikan peran manusia, termasuk profesi dengan sentuhan sosial tinggi seperti Pendamping Desa. Profesi ini melibatkan interaksi manusiawi yang mendalam.

Pendamping Desa memiliki peran unik dalam pemberdayaan masyarakat, bertindak sebagai fasilitator, motivator, sekaligus penghubung. Mereka bekerja dengan pendekatan yang memadukan empati, pemahaman budaya lokal, dan kemampuan adaptasi terhadap dinamika sosial masyarakat (Sulistiyani, Manajemen Pemberdayaan Masyarakat, 2015).

Kemajuan AI yang mampu mengolah data dalam skala besar membawa peluang sekaligus tantangan. Di satu sisi, teknologi ini menawarkan solusi cepat untuk pengumpulan dan analisis data. Di sisi lain, AI memiliki keterbatasan dalam memahami emosi dan konteks sosial (Floridi, Ethics of AI, 2019).

Efisiensi yang ditawarkan AI memang menggoda. Chatbot berbasis AI, misalnya, mampu memberikan panduan administratif atau solusi teknis dengan akurasi tinggi. Namun, pendekatan berbasis data saja tidak cukup untuk mengelola dinamika sosial yang kompleks (Kompas, 2024).

Dalam praktiknya, banyak masalah di tingkat desa melibatkan dimensi emosional dan konflik kepentingan. Proses musyawarah yang dijalankan oleh Pendamping Desa membutuhkan kepekaan manusiawi yang tidak dapat digantikan oleh algoritma (Freeman, Empathy and Social Interactions, 2022).

Fenomena AI sebagai "pendengar" virtual turut menjadi perhatian. Banyak orang merasa lebih nyaman berbicara dengan AI karena bebas dari penilaian dan selalu tersedia. Namun, relasi berbasis kepercayaan antara Pendamping Desa dan masyarakat tetap sulit digantikan (Kompas, 2024).

Masyarakat desa sering memanfaatkan kehadiran Pendamping Desa sebagai tempat curhat. Hal ini menciptakan hubungan personal yang melampaui profesionalisme. Ketika masyarakat mulai bergantung pada AI, Pendamping Desa harus menemukan cara untuk tetap relevan (Putra, Dinamika Pemberdayaan Desa, 2021).

Interaksi sosial yang dijalankan Pendamping Desa juga menciptakan ruang belajar bersama. AI mungkin dapat memberikan informasi, tetapi tidak mampu menciptakan diskusi yang mendorong pembelajaran kolektif. Proses ini penting dalam membangun kesadaran kritis masyarakat (Haryanto, Transformasi Sosial Masyarakat Desa, 2018).

Kreativitas yang dibutuhkan dalam pemberdayaan masyarakat juga menjadi tantangan bagi AI. Solusi berbasis data tidak selalu dapat disesuaikan dengan kebutuhan lokal yang unik. Di sinilah letak keunggulan manusia dalam berimprovisasi dan menyesuaikan strategi (Kompas, 2024).

Namun, bukan berarti AI tidak memiliki tempat dalam ekosistem pemberdayaan desa. Teknologi ini dapat digunakan sebagai alat bantu untuk menyelesaikan tugas administratif. Dengan demikian, Pendamping Desa dapat lebih fokus pada tugas-tugas strategis (Sulistiyani, Manajemen Pemberdayaan Masyarakat, 2015).

Kolaborasi antara manusia dan AI menjadi skenario yang paling ideal. Pendamping Desa harus mengadopsi teknologi ini sebagai alat pendukung tanpa kehilangan sentuhan manusiawi. Dengan begitu, teknologi dapat memperkuat, bukan menggantikan peran mereka (Floridi, Ethics of AI, 2019).

Keberhasilan pemberdayaan masyarakat pada akhirnya bergantung pada perpaduan antara efisiensi teknologi dan nilai-nilai kemanusiaan. AI dapat mempercepat proses, tetapi relasi personal tetap menjadi inti dari perubahan sosial yang bermakna (Gunkel, AI and Society, 2020).

Meskipun teknologi terus berkembang, kebutuhan akan hubungan manusia yang autentik tidak akan tergantikan. Dalam konteks ini, Pendamping Desa tetap memiliki peran penting sebagai pilar pemberdayaan yang mengutamakan dialog, empati, dan solidaritas (Kompas, 2024).

Melihat perkembangan ini, adaptasi menjadi kunci utama. Pendamping Desa harus belajar menggunakan AI untuk meningkatkan efisiensi, tetapi juga harus terus memperkuat kompetensi sosial mereka. Dengan cara ini, mereka tetap relevan di era teknologi (Putra, Dinamika Pemberdayaan Desa, 2021).

Pada akhirnya, fenomena AI tidak perlu dianggap sebagai ancaman, melainkan peluang. Teknologi ini dapat menjadi mitra dalam menciptakan perubahan yang lebih cepat dan luas. Namun, perubahan yang bermakna hanya bisa terjadi dengan sentuhan manusia (Haryanto, Transformasi Sosial Masyarakat Desa, 2018).

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun