Namun, bukan berarti AI tidak memiliki tempat dalam ekosistem pemberdayaan desa. Teknologi ini dapat digunakan sebagai alat bantu untuk menyelesaikan tugas administratif. Dengan demikian, Pendamping Desa dapat lebih fokus pada tugas-tugas strategis (Sulistiyani, Manajemen Pemberdayaan Masyarakat, 2015).
Kolaborasi antara manusia dan AI menjadi skenario yang paling ideal. Pendamping Desa harus mengadopsi teknologi ini sebagai alat pendukung tanpa kehilangan sentuhan manusiawi. Dengan begitu, teknologi dapat memperkuat, bukan menggantikan peran mereka (Floridi, Ethics of AI, 2019).
Keberhasilan pemberdayaan masyarakat pada akhirnya bergantung pada perpaduan antara efisiensi teknologi dan nilai-nilai kemanusiaan. AI dapat mempercepat proses, tetapi relasi personal tetap menjadi inti dari perubahan sosial yang bermakna (Gunkel, AI and Society, 2020).
Meskipun teknologi terus berkembang, kebutuhan akan hubungan manusia yang autentik tidak akan tergantikan. Dalam konteks ini, Pendamping Desa tetap memiliki peran penting sebagai pilar pemberdayaan yang mengutamakan dialog, empati, dan solidaritas (Kompas, 2024).
Melihat perkembangan ini, adaptasi menjadi kunci utama. Pendamping Desa harus belajar menggunakan AI untuk meningkatkan efisiensi, tetapi juga harus terus memperkuat kompetensi sosial mereka. Dengan cara ini, mereka tetap relevan di era teknologi (Putra, Dinamika Pemberdayaan Desa, 2021).
Pada akhirnya, fenomena AI tidak perlu dianggap sebagai ancaman, melainkan peluang. Teknologi ini dapat menjadi mitra dalam menciptakan perubahan yang lebih cepat dan luas. Namun, perubahan yang bermakna hanya bisa terjadi dengan sentuhan manusia (Haryanto, Transformasi Sosial Masyarakat Desa, 2018).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H