Mohon tunggu...
Beryn Imtihan
Beryn Imtihan Mohon Tunggu... Konsultan - Penikmat Kopi

Saat ini mengabdi pada desa. Kopi satu-satunya hal yang selalu menarik perhatiannya...

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Harmoni Tanpa Ucapan: Sensitivitas Sosial di Balik Perayaan Nataru

25 Desember 2024   21:26 Diperbarui: 25 Desember 2024   21:26 101
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi harmoni tanpa ucapan (sumber: ilustrasi AI Meta)

Nataru, akronim dari Natal dan Tahun Baru, selalu menjadi momentum perenungan bersama. Bagi umat Kristiani, Natal adalah momen sakral mengenang kelahiran Kristus. Sementara itu, pergantian tahun menjadi penanda universal bagi semua orang, tanpa memandang agama, untuk mengevaluasi perjalanan hidup.

Bagi sebagian umat Islam di Indonesia, isu seputar ucapan "Selamat Natal" terus menjadi diskusi yang tak kunjung berujung. Banyak yang memilih tidak mengucapkan, bukan karena kebencian, tetapi lebih karena keyakinan religius yang mereka pegang. Dalam konteks ini, penghormatan tak selalu harus diartikulasikan dalam bentuk verbal. Sikap hormat bisa diwujudkan melalui perilaku, seperti menciptakan suasana damai dan penuh toleransi.

Perdebatan ini sering muncul karena Indonesia adalah negara dengan keberagaman yang luar biasa. Dalam satu desa, bisa ditemukan berbagai keyakinan hidup berdampingan. Di sini, sensitivitas sosial menjadi kunci menjaga harmoni. Pendamping desa sebagai aktor pemberdayaan di garda terdepan memiliki tanggung jawab besar membangun kesadaran kolektif pentingnya menghormati perbedaan.

Desa adalah miniatur dari Indonesia. Dalam ruang ini, interaksi antarkelompok agama sering kali lebih intens dibandingkan dengan kota besar. Pendamping desa, yang memiliki kedekatan langsung dengan masyarakat, harus menjadi fasilitator menjaga harmoni ini. Salah satu caranya adalah dengan mendukung inisiatif yang mempromosikan dialog lintas agama.

Pada momen Nataru, pendamping desa dapat menginisiasi kegiatan berbasis budaya yang melibatkan semua elemen masyarakat tanpa menonjolkan aspek religius tertentu. Misalnya, gotong royong membersihkan lingkungan menjelang akhir tahun atau mengadakan diskusi kebangsaan. Aktivitas seperti ini menunjukkan bahwa kebersamaan lebih bermakna daripada sekadar formalitas ucapan (Susanto, 2020).

Dalam tradisi Islam, menghormati keyakinan orang lain adalah bagian dari ajaran dasar. Al-Qur’an Surah Al-Kafirun ayat 6, misalnya, menegaskan prinsip "Untukmu agamamu, dan untukku agamaku." Ayat ini tidak memerintahkan umat Islam untuk menolak keberadaan agama lain, melainkan mengajarkan sikap saling menghormati dalam perbedaan (Rais, 2018).

Namun, penghormatan tidak berarti harus melanggar batas keyakinan pribadi. Banyak ulama kontemporer menyatakan bahwa seorang Muslim tidak diwajibkan mengucapkan "Selamat Natal," tetapi wajib menjaga hubungan baik dengan tetangga Kristiani. Hal ini mencerminkan nilai universal tentang kemanusiaan, yang juga dijunjung tinggi dalam agama Islam.

Dalam konteks desa, peran pendamping desa menjadi semakin penting turut serta merawat harmoni. Ketika perbedaan pandangan terkait ucapan Natal mencuat, pendamping desa dapat mengambil peran sebagai penengah. Pendekatan yang dilakukan harus bersifat persuasif, dengan mengedepankan pemahaman tentang pentingnya hidup berdampingan secara damai.

Dalam studi yang dilakukan oleh LIPI (2017), desa-desa yang memiliki pendamping aktif dalam memfasilitasi dialog lintas agama terbukti lebih mampu menjaga stabilitas sosial. Hasil penelitian ini menegaskan bahwa pendamping desa tidak hanya bertugas pada aspek pembangunan fisik, tetapi juga menjadi katalis dalam membangun hubungan sosial yang sehat.

Toleransi, bagaimanapun, tidak hanya soal tindakan. Bahasa yang digunakan oleh pendamping desa dalam setiap kesempatan juga mencerminkan sejauh mana ia memahami konteks keberagaman. Kata-kata sederhana seperti "Kita berbeda, tetapi tetap satu keluarga" mampu menciptakan suasana yang hangat.

Pengalaman menunjukkan bahwa tantangan terbesar dalam menjaga toleransi di desa bukanlah konflik besar, melainkan isu-isu kecil yang sering diabaikan. Misalnya, jadwal kegiatan yang bertabrakan dengan hari raya agama tertentu atau penggunaan fasilitas umum yang kurang sensitif terhadap kebutuhan kelompok tertentu. Di sinilah pendamping desa perlu hadir dengan sikap proaktif.

Pendamping desa juga dapat memanfaatkan momentum Nataru untuk memperkuat solidaritas sosial. Dalam beberapa desa, tradisi saling berbagi makanan antara tetangga saat Natal sudah menjadi kebiasaan. Tradisi ini bisa diperluas dengan melibatkan seluruh masyarakat tanpa terkecuali. Langkah sederhana ini mampu menciptakan kedekatan emosional yang lebih dalam.

Pada sisi lain, keberadaan desa sebagai bagian dari negara yang majemuk juga menuntut adanya regulasi lokal yang inklusif. Pendamping desa dapat menginisiasi peraturan desa (perdes) yang mendukung penghormatan terhadap hari-hari besar keagamaan. Misalnya, perdes yang mengatur penggunaan pengeras suara atau pengelolaan tempat ibadah.

Kebijakan seperti ini tidak hanya mencerminkan kepekaan terhadap perbedaan, tetapi juga memberi ruang bagi semua kelompok untuk merasa dihargai. Dalam jangka panjang, regulasi yang inklusif ini akan memperkuat ikatan sosial di tingkat akar rumput.

Sementara itu, media sosial sering kali menjadi arena yang memperkeruh suasana. Saat Nataru, berbagai unggahan terkait ucapan Natal sering menjadi polemik. Pendamping desa harus mampu mengedukasi masyarakat tentang literasi digital, termasuk dampak dari unggahan yang tidak sensitif terhadap perbedaan.

Sebagai bangsa yang memiliki falsafah Pancasila, penghormatan terhadap perbedaan adalah fondasi utama. Desa sebagai ujung tombak pembangunan harus menjadi cerminan dari nilai-nilai ini. Pendamping desa, sebagai bagian dari ekosistem pembangunan, memiliki peran strategis memastikan bahwa nilai-nilai Pancasila terus hidup dalam praktik sehari-hari.

Momentum Nataru adalah pengingat bahwa harmoni bukan tentang menyamakan, tetapi merayakan perbedaan. Tanpa perlu mengucapkan "Selamat Natal," seorang Muslim sudah dapat menunjukkan penghormatan melalui tindakan nyata. Bagi pendamping desa, ini adalah pelajaran berharga tentang bagaimana menjadi jembatan di tengah keberagaman.

Dalam sebuah wawancara dengan Prof. Azyumardi Azra (Kompas, 2016), beliau menekankan bahwa toleransi adalah sikap aktif, bukan pasif. Toleransi berarti bersedia membuka diri untuk memahami perspektif orang lain tanpa kehilangan identitas pribadi. Pandangan ini relevan dengan peran pendamping desa dalam merawat kebersamaan.

Ketika Nataru berlalu, tantangan untuk menjaga harmoni tetap ada. Pendamping desa harus terus mengingatkan masyarakat bahwa perbedaan bukan alasan saling menjauh. Sebaliknya, perbedaan adalah kekuatan yang memperkaya kehidupan bersama.

Dalam sebuah diskusi tentang pluralisme, Gus Dur pernah berkata, "Agama tidak untuk memisahkan manusia, tetapi untuk mendekatkan manusia kepada sesama dan Tuhannya." Pesan ini seharusnya menjadi pedoman, tidak hanya bagi pendamping desa, tetapi bagi kita semua.

Nataru mungkin hanya berlangsung beberapa hari dalam setahun, tetapi semangat kebersamaan yang diusungnya harus terus hidup. Pendamping desa memiliki tanggung jawab memastikan bahwa semangat ini tidak pudar, melainkan terus berkembang menjadi budaya yang mengakar di masyarakat.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun