Pengalaman menunjukkan bahwa tantangan terbesar dalam menjaga toleransi di desa bukanlah konflik besar, melainkan isu-isu kecil yang sering diabaikan. Misalnya, jadwal kegiatan yang bertabrakan dengan hari raya agama tertentu atau penggunaan fasilitas umum yang kurang sensitif terhadap kebutuhan kelompok tertentu. Di sinilah pendamping desa perlu hadir dengan sikap proaktif.
Pendamping desa juga dapat memanfaatkan momentum Nataru untuk memperkuat solidaritas sosial. Dalam beberapa desa, tradisi saling berbagi makanan antara tetangga saat Natal sudah menjadi kebiasaan. Tradisi ini bisa diperluas dengan melibatkan seluruh masyarakat tanpa terkecuali. Langkah sederhana ini mampu menciptakan kedekatan emosional yang lebih dalam.
Pada sisi lain, keberadaan desa sebagai bagian dari negara yang majemuk juga menuntut adanya regulasi lokal yang inklusif. Pendamping desa dapat menginisiasi peraturan desa (perdes) yang mendukung penghormatan terhadap hari-hari besar keagamaan. Misalnya, perdes yang mengatur penggunaan pengeras suara atau pengelolaan tempat ibadah.
Kebijakan seperti ini tidak hanya mencerminkan kepekaan terhadap perbedaan, tetapi juga memberi ruang bagi semua kelompok untuk merasa dihargai. Dalam jangka panjang, regulasi yang inklusif ini akan memperkuat ikatan sosial di tingkat akar rumput.
Sementara itu, media sosial sering kali menjadi arena yang memperkeruh suasana. Saat Nataru, berbagai unggahan terkait ucapan Natal sering menjadi polemik. Pendamping desa harus mampu mengedukasi masyarakat tentang literasi digital, termasuk dampak dari unggahan yang tidak sensitif terhadap perbedaan.
Sebagai bangsa yang memiliki falsafah Pancasila, penghormatan terhadap perbedaan adalah fondasi utama. Desa sebagai ujung tombak pembangunan harus menjadi cerminan dari nilai-nilai ini. Pendamping desa, sebagai bagian dari ekosistem pembangunan, memiliki peran strategis memastikan bahwa nilai-nilai Pancasila terus hidup dalam praktik sehari-hari.
Momentum Nataru adalah pengingat bahwa harmoni bukan tentang menyamakan, tetapi merayakan perbedaan. Tanpa perlu mengucapkan "Selamat Natal," seorang Muslim sudah dapat menunjukkan penghormatan melalui tindakan nyata. Bagi pendamping desa, ini adalah pelajaran berharga tentang bagaimana menjadi jembatan di tengah keberagaman.
Dalam sebuah wawancara dengan Prof. Azyumardi Azra (Kompas, 2016), beliau menekankan bahwa toleransi adalah sikap aktif, bukan pasif. Toleransi berarti bersedia membuka diri untuk memahami perspektif orang lain tanpa kehilangan identitas pribadi. Pandangan ini relevan dengan peran pendamping desa dalam merawat kebersamaan.
Ketika Nataru berlalu, tantangan untuk menjaga harmoni tetap ada. Pendamping desa harus terus mengingatkan masyarakat bahwa perbedaan bukan alasan saling menjauh. Sebaliknya, perbedaan adalah kekuatan yang memperkaya kehidupan bersama.
Dalam sebuah diskusi tentang pluralisme, Gus Dur pernah berkata, "Agama tidak untuk memisahkan manusia, tetapi untuk mendekatkan manusia kepada sesama dan Tuhannya." Pesan ini seharusnya menjadi pedoman, tidak hanya bagi pendamping desa, tetapi bagi kita semua.
Nataru mungkin hanya berlangsung beberapa hari dalam setahun, tetapi semangat kebersamaan yang diusungnya harus terus hidup. Pendamping desa memiliki tanggung jawab memastikan bahwa semangat ini tidak pudar, melainkan terus berkembang menjadi budaya yang mengakar di masyarakat.