Program Makan Bergizi Gratis (MBG) adalah inisiatif penting mewujudkan tujuan pembangunan berkelanjutan (SDGs) Desa. Program ini memberi peluang bagi desa untuk berkontribusi dalam mengentaskan kelaparan, mencegah stunting, dan memperkuat ekonomi desa melalui peran strategis BUMDes dan BUMDesma.
BUMDes dan BUMDesma secara umum dapat dikelompokkan ke dalam dua kategori berdasarkan kapasitas mereka: kategori yang mampu dan kategori yang belum mampu. Klasifikasi ini tentu saja tidak dimaksudkan untuk menciptakan stigma, melainkan untuk mengidentifikasi peluang dan potensi yang dapat dimaksimalkan.
Desa dengan BUMDes kategori pertama, yaitu yang mampu secara ekonomi dan manajerial, dapat berperan sebagai penyedia bahan pokok atau bahkan menjadi bagian dari rantai pasok program MBG. Sementara itu, desa dengan BUMDes kategori kedua tetap dapat berkontribusi di hilir, misalnya dalam hal pengelolaan kebersihan setelah kegiatan atau sebagai mitra teknis.
Penting untuk dipahami bahwa peran BUMDes dalam program MBG bukan hanya sekadar fungsi ekonomi. Sebagaimana diungkapkan oleh Sutoro Eko dalam bukunya Desa Membangun Indonesia (2015), BUMDes adalah instrumen pembangunan berbasis komunitas yang bertumpu pada nilai gotong royong dan keberlanjutan.
Dengan demikian, keterlibatan BUMDes dalam program MBG juga mencerminkan semangat kolektif desa dalam mengatasi masalah gizi buruk dan stunting, yang masih menjadi tantangan besar di banyak wilayah Indonesia.
Pada kategori pertama, BUMDes yang telah memiliki sumber daya mencukupi dapat memanfaatkan peluang program MBG untuk memperluas skala usaha mereka. Sebagai contoh, BUMDes yang memiliki usaha pertanian, peternakan, atau penggilingan padi dapat menyediakan bahan makanan bergizi untuk program tersebut.
Hal ini tidak hanya meningkatkan pendapatan BUMDes tetapi juga memastikan keberlanjutan program melalui sumber pasokan lokal. Sebuah studi dari Badan Pusat Statistik (2023) menunjukkan bahwa desa yang memanfaatkan potensi lokal dalam rantai pasok pangan memiliki tingkat ketahanan pangan yang lebih tinggi dibandingkan desa yang bergantung pada pasokan dari luar.
Sementara itu, bagi BUMDes kategori kedua yang belum mampu secara ekonomi, program MBG dapat menjadi pintu masuk untuk belajar dan berkembang. Dengan berperan di hilir, seperti mengelola kebersihan atau membantu distribusi makanan, BUMDes kategori ini dapat membangun kapasitasnya sekaligus mendapatkan pengalaman praktis dalam manajemen program.
Sebagaimana dinyatakan oleh Todaro dan Smith dalam buku Economic Development (2020), pemberdayaan masyarakat melalui pengalaman langsung adalah salah satu cara paling efektif untuk mempercepat pembangunan.
Semangat untuk terlibat dalam program MBG juga seharusnya tidak hanya datang dari pemerintah desa atau pengurus BUMDes saja, tetapi juga dari seluruh elemen masyarakat.
Desa dengan modal sosial yang kuat, seperti yang digambarkan dalam penelitian Putnam (2000), cenderung lebih sukses dalam menjalankan program-program berbasis komunitas. Oleh karena itu, sosialisasi yang melibatkan tokoh masyarakat, pemuda, dan perempuan perlu dilakukan secara masif untuk membangun kesadaran bersama.
Kunci keberhasilan program MBG terletak pada kolaborasi yang erat antara berbagai pihak. Pemerintah desa, BUMDes, masyarakat, dan pihak eksternal seperti LSM atau swasta perlu berjalan seiring dalam menciptakan ekosistem yang mendukung program ini.
Contoh nyata keberhasilan kolaborasi semacam ini dapat dilihat pada Desa Ponggok di Jawa Tengah, yang melalui BUMDes-nya berhasil menciptakan sumber pendapatan baru sambil meningkatkan kualitas hidup masyarakat desa (World Bank, 2021).
Di sisi lain, penting pula untuk memastikan bahwa keterlibatan BUMDes dalam program MBG tidak menjadi beban yang berlebihan. Perencanaan yang matang, pendampingan dari tenaga ahli, dan monitoring berkala diperlukan agar program ini berjalan sesuai harapan.
Pemerintah, baik di tingkat kabupaten maupun pusat, dapat berperan sebagai fasilitator dengan memberikan pelatihan, bantuan teknis, dan akses pendanaan. Sebagaimana diuraikan oleh UNDP (2022) dalam laporan tentang pembangunan berbasis komunitas, dukungan pemerintah yang terarah dan konsisten merupakan salah satu faktor kunci dalam keberhasilan program-program berbasis desa.
Program MBG juga dapat menjadi peluang memperkenalkan inovasi di tingkat desa. Sebagai contoh, BUMDes dapat mengadopsi teknologi pertanian modern untuk meningkatkan produktivitas, atau menggunakan platform digital untuk manajemen logistik dan distribusi makanan.
Inovasi semacam ini tidak hanya akan meningkatkan efisiensi program tetapi juga menciptakan peluang usaha baru bagi BUMDes. Menurut laporan McKinsey (2023), desa-desa yang mengintegrasikan teknologi dalam pengelolaan usaha memiliki tingkat pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi dibandingkan desa yang tidak.
Pada akhirnya, keberhasilan program MBG akan sangat ditentukan oleh komitmen dan dedikasi semua pihak yang terlibat. Desa yang mampu melihat program ini sebagai peluang untuk berkembang, bukan sekadar kewajiban, akan mendapatkan manfaat yang jauh lebih besar.
Sebagaimana dikatakan oleh Ki Hajar Dewantara, “Pendidikan yang sebenarnya adalah upaya memerdekakan manusia dari segala bentuk keterbelakangan.” Dalam konteks ini, program MBG adalah salah satu bentuk pendidikan sosial yang dapat memerdekakan desa dari masalah kelaparan dan gizi buruk.
Dengan segala tantangan dan peluang yang ada, sudah saatnya desa-desa di Indonesia memandang program MBG sebagai langkah strategis untuk menciptakan masa depan yang lebih baik. Peran BUMDes, baik yang mampu maupun yang belum mampu, harus dioptimalkan sesuai kapasitas masing-masing. Bersama-sama, mari kita wujudkan desa tanpa kelaparan dan generasi yang lebih sehat melalui program Makan Bergizi Gratis.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H