Dalam skema IDM, desa yang tergolong tertinggal atau sangat tertinggal sering kali menerima alokasi anggaran lebih besar dengan tujuan mengejar ketertinggalan.Â
Namun, pendekatan ini sering kali tidak disertai dengan strategi pengelolaan yang jelas, sehingga dana yang diberikan kurang efektif dalam mengatasi masalah utama desa.
Dengan ID, alokasi dana lebih diarahkan pada prioritas kebutuhan yang teridentifikasi berdasarkan indikator baru.Â
Desa yang memiliki tata kelola baik dan menunjukkan peningkatan signifikan dalam indikator ID dapat memperoleh insentif tambahan. Mekanisme ini diharapkan dapat mendorong desa untuk lebih berinovasi dalam pengelolaan pembangunan.
Meski demikian, keberhasilan ID sangat bergantung pada keberlanjutan komitmen pemerintah dalam mendukung implementasinya.Â
Pemerintah pusat perlu memastikan bahwa perangkat teknologi yang digunakan untuk pengumpulan data tersedia secara merata di seluruh desa, termasuk di daerah terpencil.Â
Selain itu, pendamping desa harus mendapatkan pelatihan yang memadai agar mampu menjalankan tugasnya sesuai dengan standar yang ditetapkan.
Pada akhirnya, transisi dari IDM ke ID mencerminkan upaya pemerintah memperbaiki sistem pengukuran pembangunan desa.Â
Perubahan ini menawarkan potensi besar menciptakan pengelolaan pembangunan yang lebih efektif dan akuntabel. Namun, seperti halnya setiap perubahan besar, keberhasilan ID akan sangat bergantung pada bagaimana sistem ini diimplementasikan di lapangan.
Dengan segala kelebihan dan kekurangannya, ID menjadi cerminan dinamika pembangunan desa yang terus berkembang.Â
Perubahan ini seharusnya tidak hanya dilihat sebagai pergantian teknis, tetapi sebagai langkah strategis yang akan membawa pembangunan desa ke arah yang lebih inklusif dan berkelanjutan.