Pengukuran pembangunan desa di Indonesia mengalami perubahan signifikan dengan peralihan dari Indeks Desa Membangun (IDM) ke Indeks Desa (ID). Pergantian ini tidak hanya soal nomenklatur, tetapi juga menyentuh aspek metodologi, fokus pengukuran, dan implikasi kebijakan pembangunan desa. Perubahan ini menjadi momentum mengevaluasi arah dan strategi pembangunan desa yang selama ini diterapkan.
IDM diperkenalkan sebagai alat ukur untuk menilai status kemajuan desa berdasarkan tiga dimensi utama: sosial, ekonomi, dan ekologi. Dimensi ini diterjemahkan dalam indikator yang mencakup akses pendidikan, kesehatan, infrastruktur, hingga keberlanjutan lingkungan (Kementerian Desa, 2016).Â
Melalui IDM, desa dikategorikan ke dalam lima klasifikasi: sangat tertinggal, tertinggal, berkembang, maju, dan mandiri. Sistem ini bertujuan mengidentifikasi kebutuhan pembangunan secara lebih terarah.
IDM tidak lepas dari kritik. Beberapa peneliti, seperti Budi Setiawan dalam jurnal "Pembangunan Desa: Teori dan Praktik" (2021), menyoroti bahwa indikator IDM terlalu fokus pada aspek kuantitatif, sehingga kurang mencerminkan kualitas kehidupan masyarakat desa.Â
Misalnya, keberadaan fasilitas kesehatan dihitung tanpa mempertimbangkan aksesibilitas atau kualitas layanan yang diberikan. Kritik ini menciptakan urgensi untuk mendesain ulang alat ukur yang lebih representatif.
Indeks Desa (ID) hadir sebagai respons atas kritik tersebut. ID menawarkan pendekatan yang lebih sederhana namun berupaya lebih komprehensif dalam menangkap dinamika pembangunan desa.Â
Salah satu perbedaan mendasar terletak pada pengurangan dimensi pengukuran. Jika IDM memiliki tiga dimensi, ID hanya berfokus pada dua dimensi utama: sosial-ekonomi dan tata kelola-pelayanan publik. Dimensi ini dianggap lebih relevan dalam konteks kebutuhan masyarakat desa saat ini.
Pengurangan dimensi tersebut berdampak pada penyusunan indikator. Pada ID, indikator dikurangi dari 52 menjadi 35 (Kementerian Desa, 2023). Penyederhanaan ini bertujuan meningkatkan akurasi dan efektivitas pengumpulan data.Â
Sebagai contoh, indikator yang sebelumnya terpisah antara jumlah fasilitas pendidikan dan partisipasi sekolah kini digabung menjadi indikator akses pendidikan yang lebih menyeluruh. Pendekatan ini juga mengurangi risiko tumpang tindih data, yang sering terjadi dalam pelaksanaan IDM.
Selain perubahan indikator, ID juga membawa pergeseran fokus dalam pengukuran kualitas tata kelola desa. Dalam IDM, tata kelola lebih banyak diukur dari sisi administrasi, seperti keberadaan peraturan desa dan laporan keuangan.Â