Mohon tunggu...
Beryn Imtihan
Beryn Imtihan Mohon Tunggu... Konsultan - Penikmat Kopi

Saat ini mengabdi pada desa. Kopi satu-satunya hal yang selalu menarik perhatiannya...

Selanjutnya

Tutup

Worklife

Menghirup Napas Kehidupan Lewat Slow Living di Desa

20 Desember 2024   13:53 Diperbarui: 20 Desember 2024   20:37 55
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi (sumber: Gambar oleh Arek Socha dari Pixabay)

Untuk memulai perjalanan menuju slow living, Anda tidak perlu langsung nge-gas merombak seluruh gaya hidup. Langkah pertama bisa dimulai dengan hal sederhana seperti mengalokasikan waktu mengunjungi desa.

Pilihlah akhir pekan atau waktu senggang untuk menjelajahi desa-desa di sekitar Anda. Datangi pasar tradisional, cicipi makanan lokal, atau sekadar berjalan-jalan menikmati suasana pedesaan. Dengan merasakan langsung ritme kehidupan di desa, Anda bisa mulai memahami inti dari filosofi slow living.

Di tengah hiruk-pikuk kehidupan perkotaan, slow living semakin menarik perhatian sebagai gaya hidup alternatif. Filosofi ini mendorong seseorang untuk lebih sadar dalam menjalani hidup, menghargai proses, dan menikmati momen-momen kecil.

Banyak yang belum menyadari bahwa menjalani slow living, kita tidak perlu pergi jauh atau merencanakan liburan mewah. Desa-desa di sekitar kita sudah menyediakan semua yang dibutuhkan untuk hidup lebih perlahan dan bermakna.

Slow living bukanlah konsep baru. Gaya hidup ini bermula dari gerakan slow food yang lahir di Italia pada tahun 1986 sebagai respons terhadap dominasi makanan cepat saji (Petrini, 2007).

Konsep tersebut kemudian meluas ke berbagai aspek kehidupan, mulai dari pola kerja hingga cara kita mengisi waktu luang. Desa, dengan ritme hidupnya yang alami, menjadi tempat yang ideal mewujudkan filosofi ini.

Ketika menjejakkan kaki di desa, suasana yang berbeda langsung terasa. Tidak ada kebisingan kendaraan atau orang-orang yang tergesa-gesa mengejar waktu. Sebaliknya, desa menawarkan ketenangan yang sulit ditemukan di kota.

Waktu seolah melambat, memungkinkan kita benar-benar hadir dalam setiap momen. Kegiatan sederhana seperti menyapu halaman, menanam bunga, atau sekadar duduk di teras menikmati secangkir teh menjadi pengalaman yang penuh makna.

Kesederhanaan kehidupan desa mengajarkan kita menghargai hal-hal kecil. Dalam bukunya In Praise of Slow (2004), Carl Honoré menulis bahwa memperlambat langkah hidup memungkinkan kita menikmati perjalanan, bukan sekadar mencapai tujuan.

Di desa, filosofi ini terasa nyata. Orang-orang menjalani aktivitas harian dengan penuh kesadaran, seperti memanen sayuran di kebun, memasak dengan bahan alami, atau bercengkerama bersama keluarga di sore hari. Semua dilakukan tanpa tekanan waktu yang mendikte.

Selain ritme yang lebih lambat, desa juga menawarkan hubungan yang lebih personal dengan alam. Hidup di desa memungkinkan kita menikmati suara burung di pagi hari, aroma tanah setelah hujan, atau pemandangan sawah yang membentang luas.

Penelitian dalam jurnal Frontiers in Psychology (2019) mengungkapkan bahwa paparan terhadap alam secara signifikan dapat meningkatkan kesehatan mental dan mengurangi stres. Di desa, hubungan manusia dengan alam menjadi lebih harmonis dan alami.

Gaya hidup slow living turut tercermin dalam pola konsumsi masyarakat desa. Banyak keluarga di pedesaan mengandalkan hasil kebun guna mencukupi kebutuhan pangan sehari-hari. Proses memasak dilakukan dengan cara-cara tradisional yang minim bahan pengawet dan tanpa menggunakan alat modern serba instan.

Jika pun ada pengawet yang digunakan, umumnya berasal dari bahan alami yang tersedia di alam sekitar. Aktivitas memasak ini tidak sekadar menghasilkan makanan, tetapi juga menjadi sarana refleksi dan bentuk keterhubungan dengan siklus kehidupan.

Di sejumlah desa di Lombok, ada tradisi unik berupa bacaan atau rapalan tertentu saat memasak, yang dikenal dengan istilah bekawin. Tujuannya agar bumbu dan bahan lebih menyatu sempurna. Nilai-nilai slow food, yang mengutamakan kesederhanaan serta kualitas pangan, begitu nyata dalam keseharian masyarakat desa.

Kebersamaan menjadi nilai lain yang kuat dalam kehidupan desa. Di banyak tempat, tradisi gotong royong masih hidup dan menjadi bagian dari keseharian. Dalam kegiatan seperti membersihkan saluran air atau membangun rumah, kebahagiaan bukan hanya terletak pada hasil akhir, tetapi juga pada proses dan interaksi sosial yang terjadi.

Konsep ini sejalan dengan John Zerzan dalam Against Civilization: Readings and Reflections (1999), yang menekankan bahwa kebahagiaan sejati ditemukan dalam hubungan manusia yang tulus dan bebas dari tuntutan materialisme.

Meskipun slow living di desa memiliki tantangan tersendiri, seperti keterbatasan infrastruktur, akses teknologi, dan fasilitas kesehatan, hal ini justru mengajarkan masyarakat desa untuk hidup lebih mandiri dan kreatif.

Mereka terbiasa memanfaatkan sumber daya yang ada di sekitar dengan bijak, mulai dari membuat pupuk organik hingga menggunakan bahan-bahan lokal untuk keperluan sehari-hari. Nilai keberlanjutan yang mereka praktikkan adalah pelajaran berharga bagi kita yang hidup di perkotaan.

Slow living di desa juga mengajarkan kita meredefinisi kebahagiaan. Kebahagiaan tidak harus datang dari hal-hal besar seperti pencapaian karier atau kemewahan materi.

Sebaliknya, kebahagiaan bisa ditemukan dalam hal-hal sederhana seperti menikmati pagi yang tenang, berbincang dengan tetangga, atau menyaksikan anak-anak bermain di halaman. Desa mengingatkan kita bahwa hidup tidak perlu rumit untuk menjadi bermakna.

Bagi mereka yang penasaran dengan gaya hidup ini, desa-desa terdekat bisa menjadi tempat belajar dan bereksperimen. Tidak perlu perubahan besar-besaran dalam hidup. Mulailah dengan mengunjungi desa, berinteraksi dengan penduduk setempat, dan mencoba aktivitas yang mereka lakukan. Pelajaran-pelajaran kecil dari kehidupan desa dapat diadaptasi ke kehidupan sehari-hari di kota.

Seperti yang pernah disampaikan Mahatma Gandhi, “Ada lebih banyak kehidupan di desa kecil daripada di kota besar.” Kutipan ini mengingatkan kita bahwa desa bukan hanya tempat tinggal, tetapi juga ladang inspirasi dan sumber kebijaksanaan.

Slow living di desa bukanlah sekadar ide, melainkan sebuah perjalanan menyatu kembali dengan esensi kehidupan. Desa menyimpan pelajaran berharga tentang bagaimana menjalani hari-hari dengan kesadaran, makna, dan kedamaian yang mendalam. Cobalah meluangkan waktu merasakan ritme hidup yang lambat di desa, dan temukan keseimbangan baru dalam hidup Anda.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun