Mohon tunggu...
Beryn Imtihan
Beryn Imtihan Mohon Tunggu... Konsultan - Penikmat Kopi

Saat ini mengabdi pada desa. Kopi satu-satunya hal yang selalu menarik perhatiannya...

Selanjutnya

Tutup

Worklife

Menghirup Napas Kehidupan Lewat Slow Living di Desa

20 Desember 2024   13:53 Diperbarui: 20 Desember 2024   20:37 55
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Selain ritme yang lebih lambat, desa juga menawarkan hubungan yang lebih personal dengan alam. Hidup di desa memungkinkan kita menikmati suara burung di pagi hari, aroma tanah setelah hujan, atau pemandangan sawah yang membentang luas.

Penelitian dalam jurnal Frontiers in Psychology (2019) mengungkapkan bahwa paparan terhadap alam secara signifikan dapat meningkatkan kesehatan mental dan mengurangi stres. Di desa, hubungan manusia dengan alam menjadi lebih harmonis dan alami.

Gaya hidup slow living turut tercermin dalam pola konsumsi masyarakat desa. Banyak keluarga di pedesaan mengandalkan hasil kebun guna mencukupi kebutuhan pangan sehari-hari. Proses memasak dilakukan dengan cara-cara tradisional yang minim bahan pengawet dan tanpa menggunakan alat modern serba instan.

Jika pun ada pengawet yang digunakan, umumnya berasal dari bahan alami yang tersedia di alam sekitar. Aktivitas memasak ini tidak sekadar menghasilkan makanan, tetapi juga menjadi sarana refleksi dan bentuk keterhubungan dengan siklus kehidupan.

Di sejumlah desa di Lombok, ada tradisi unik berupa bacaan atau rapalan tertentu saat memasak, yang dikenal dengan istilah bekawin. Tujuannya agar bumbu dan bahan lebih menyatu sempurna. Nilai-nilai slow food, yang mengutamakan kesederhanaan serta kualitas pangan, begitu nyata dalam keseharian masyarakat desa.

Kebersamaan menjadi nilai lain yang kuat dalam kehidupan desa. Di banyak tempat, tradisi gotong royong masih hidup dan menjadi bagian dari keseharian. Dalam kegiatan seperti membersihkan saluran air atau membangun rumah, kebahagiaan bukan hanya terletak pada hasil akhir, tetapi juga pada proses dan interaksi sosial yang terjadi.

Konsep ini sejalan dengan John Zerzan dalam Against Civilization: Readings and Reflections (1999), yang menekankan bahwa kebahagiaan sejati ditemukan dalam hubungan manusia yang tulus dan bebas dari tuntutan materialisme.

Meskipun slow living di desa memiliki tantangan tersendiri, seperti keterbatasan infrastruktur, akses teknologi, dan fasilitas kesehatan, hal ini justru mengajarkan masyarakat desa untuk hidup lebih mandiri dan kreatif.

Mereka terbiasa memanfaatkan sumber daya yang ada di sekitar dengan bijak, mulai dari membuat pupuk organik hingga menggunakan bahan-bahan lokal untuk keperluan sehari-hari. Nilai keberlanjutan yang mereka praktikkan adalah pelajaran berharga bagi kita yang hidup di perkotaan.

Slow living di desa juga mengajarkan kita meredefinisi kebahagiaan. Kebahagiaan tidak harus datang dari hal-hal besar seperti pencapaian karier atau kemewahan materi.

Sebaliknya, kebahagiaan bisa ditemukan dalam hal-hal sederhana seperti menikmati pagi yang tenang, berbincang dengan tetangga, atau menyaksikan anak-anak bermain di halaman. Desa mengingatkan kita bahwa hidup tidak perlu rumit untuk menjadi bermakna.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun