Pengalaman sebagai pendamping desa, sering kali menemukan pengelolaan dana desa menghadapi tantangan yang bersumber dari pola pikir masyarakat lokal. Salah satu pola pikir yang cukup dominan adalah tradisi “berkat begawe” dalam budaya Sasak.
Tradisi ini, yang muncul dalam konteks hajatan seperti pernikahan atau khitanan, mencerminkan semangat gotong royong dan pemberian “berkat” (oleh-oleh). Namun, pola pikir tersebut sering kali terbawa ke dalam pengelolaan dana desa.
Dalam sepengamatan selama ini, dana desa oleh masyarakat kerap dipandang seperti “begawe dese” atau hajatan desa. Dengan pola pikir ini, masyarakat menganggap bahwa setiap orang yang terlibat dalam “hajatan” pembangunan desa harus mendapatkan bagian secara merata, mirip dengan tradisi pembagian “berkat” dalam acara hajatan.
Hal ini menciptakan ekspektasi bahwa dana desa harus digunakan untuk memenuhi kebutuhan seluruh kelompok atau individu secara adil menurut ukuran mereka, meskipun alokasi tersebut tidak selalu relevan atau efektif bagi pembangunan jangka panjang.
Sebagai contoh, dalam musyawarah desa, pembagian dana sering kali diarahkan untuk untuk dibagi “merata” kepada semua kelompok, tanpa mempertimbangkan prioritas kebutuhan atau efektivitas. Sejalan dengan prinsip “berkat begawe,” di mana semua pihak yang berkontribusi pada suatu hajatan berhak mendapatkan “berkat” (oleh-oleh).
Dalam konteks pengelolaan dana desa, pola pikir ini menjelma menjadi kebiasaan pembagian dana ke berbagai program tanpa mempertimbangkan urgensi atau potensi dampak dari setiap alokasi.
Pola pikir ini menciptakan bias dalam pengambilan keputusan. Keputusan lebih sering didasarkan pada asas “tidak ada yang boleh merasa dilupakan,” daripada pertimbangan strategis.
Akibatnya, alokasi dana sering kali terfragmentasi, dan potensi pembangunan yang lebih besar tidak dapat diwujudkan. Kegiatan-kegiatan strategis yang membutuhkan alokasi besar menjadi terabaikan karena kekhawatiran akan kecemburuan sosial.
Di sisi lain, tradisi “berkat begawe” juga memiliki dampak positif. Semangat gotong royong yang melekat dalam tradisi ini mendorong masyarakat aktif berpartisipasi dalam program pembangunan desa.
Ketika dana desa digunakan untuk program yang bersifat kolektif, seperti pembangunan jalan atau drainase, masyarakat cenderung mendukung penuh, baik dengan tenaga maupun sumbangan tambahan. Namun, partisipasi ini sering kali kurang terarah karena kebiasaan berbagi secara merata lebih mendominasi.
Tantangan terbesar dalam mengatasi pengaruh pola pikir ini adalah mengubah cara pandang masyarakat tentang prioritas pembangunan. Perlu pendekatan yang bijak untuk menjelaskan bahwa keadilan tidak selalu berarti kesetaraan dalam bentuk pembagian rata.
Keadilan dalam hal ini harus dimaknai sebagai pemberian sesuai kebutuhan dan potensi dampak. Ini membutuhkan edukasi yang konsisten melalui musyawarah desa yang partisipatif dan transparan.
Selain itu, kapasitas kepala desa dan perangkatnya dalam memahami prinsip tata kelola keuangan yang baik juga perlu ditingkatkan. Kebiasaan berbagi rata sering kali muncul karena kurangnya pemahaman tentang prinsip akuntabilitas dan efektivitas.
Pendamping desa harus berperan aktif dalam memberikan pelatihan tentang prioritas pembangunan, evaluasi kebutuhan, dan perencanaan berbasis data.
Namun, mengubah pola pikir yang telah mengakar selama puluhan tahun tentu bukan hal yang mudah. Tradisi “berkat begawe” adalah bagian dari identitas budaya Sasak yang telah terbentuk melalui generasi.
Mengubahnya bukan berarti menghapus tradisi, melainkan mentransformasikannya agar sesuai dengan kebutuhan pembangunan modern. Tradisi ini tetap bisa dipertahankan dalam konteks sosial, tetapi perlu dipisahkan dari pengelolaan dana publik yang memerlukan pendekatan berbasis hasil.
Langkah-langkah kecil dapat dimulai dengan mengintegrasikan tradisi ini ke dalam program desa yang lebih terstruktur. Misalnya, gotong royong tradisional diformalkan dalam program Padat Karya Tunai Desa (PKTD), yang tidak hanya melibatkan banyak pihak tetapi juga menghasilkan output pembangunan yang jelas.
Dengan cara ini, semangat “berkat begawe” tetap hidup, tetapi dalam bentuk yang lebih produktif dan terukur, sehingga masyarakat merasakan manfaat langsung dari kontribusi mereka dalam proyek pembangunan yang konkret. Pendekatan ini memungkinkan pembangunan yang lebih merata sekaligus meningkatkan efektivitas penggunaan dana desa.
Ke depan, pengelolaan dana desa di Lombok perlu mengadopsi pendekatan yang lebih visioner. Prioritas pembangunan harus diarahkan pada sektor-sektor strategis yang membawa perubahan besar, seperti pendidikan, kesehatan, dan pengentasan kemiskinan.
Tradisi lokal seperti “berkat begawe” dapat menjadi kekuatan pendukung, tetapi bukan penghalang bagi tercapainya tujuan pembangunan yang lebih luas.
Transformasi ini membutuhkan kolaborasi antara pemerintah, pendamping desa, dan masyarakat itu sendiri. Edukasi, dialog, dan pemberdayaan menjadi kunci menciptakan keseimbangan antara tradisi lokal dan tuntutan pembangunan modern.
Dengan demikian, pengelolaan dana desa di Lombok tidak hanya efektif, tetapi juga tetap berakar pada nilai-nilai budaya yang telah menjadi identitas masyarakat Sasak.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H