Mohon tunggu...
Beryn Imtihan
Beryn Imtihan Mohon Tunggu... Konsultan - Penikmat Kopi

Saat ini mengabdi pada desa. Kopi satu-satunya hal yang selalu menarik perhatiannya...

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop Artikel Utama

Berkat Begawe dan Implikasinya terhadap Pengelolaan Dana Desa

8 Desember 2024   16:32 Diperbarui: 9 Desember 2024   04:35 319
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pengalaman sebagai pendamping desa, sering kali menemukan pengelolaan dana desa menghadapi tantangan yang bersumber dari pola pikir masyarakat lokal. Salah satu pola pikir yang cukup dominan adalah tradisi “berkat begawe” dalam budaya Sasak.

Tradisi ini, yang muncul dalam konteks hajatan seperti pernikahan atau khitanan, mencerminkan semangat gotong royong dan pemberian “berkat” (oleh-oleh). Namun, pola pikir tersebut sering kali terbawa ke dalam pengelolaan dana desa.

Dalam sepengamatan selama ini, dana desa oleh masyarakat kerap dipandang seperti “begawe dese” atau hajatan desa. Dengan pola pikir ini, masyarakat menganggap bahwa setiap orang yang terlibat dalam “hajatan” pembangunan desa harus mendapatkan bagian secara merata, mirip dengan tradisi pembagian “berkat” dalam acara hajatan.

Hal ini menciptakan ekspektasi bahwa dana desa harus digunakan untuk memenuhi kebutuhan seluruh kelompok atau individu secara adil menurut ukuran mereka, meskipun alokasi tersebut tidak selalu relevan atau efektif bagi pembangunan jangka panjang.

Sebagai contoh, dalam musyawarah desa, pembagian dana sering kali diarahkan untuk untuk dibagi “merata” kepada semua kelompok, tanpa mempertimbangkan prioritas kebutuhan atau efektivitas. Sejalan dengan prinsip “berkat begawe,” di mana semua pihak yang berkontribusi pada suatu hajatan berhak mendapatkan “berkat” (oleh-oleh).

Dalam konteks pengelolaan dana desa, pola pikir ini menjelma menjadi kebiasaan pembagian dana ke berbagai program tanpa mempertimbangkan urgensi atau potensi dampak dari setiap alokasi.

Pola pikir ini menciptakan bias dalam pengambilan keputusan. Keputusan lebih sering didasarkan pada asas “tidak ada yang boleh merasa dilupakan,” daripada pertimbangan strategis.

Akibatnya, alokasi dana sering kali terfragmentasi, dan potensi pembangunan yang lebih besar tidak dapat diwujudkan. Kegiatan-kegiatan strategis yang membutuhkan alokasi besar menjadi terabaikan karena kekhawatiran akan kecemburuan sosial.

Di sisi lain, tradisi “berkat begawe” juga memiliki dampak positif. Semangat gotong royong yang melekat dalam tradisi ini mendorong masyarakat aktif berpartisipasi dalam program pembangunan desa.

Ketika dana desa digunakan untuk program yang bersifat kolektif, seperti pembangunan jalan atau drainase, masyarakat cenderung mendukung penuh, baik dengan tenaga maupun sumbangan tambahan. Namun, partisipasi ini sering kali kurang terarah karena kebiasaan berbagi secara merata lebih mendominasi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Vox Pop Selengkapnya
Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun