Selain tantangan teknis, relevansi kurikulum pelatihan juga menjadi perhatian. PLD sering kali menghadapi permasalahan kompleks di lapangan, mulai dari pengelolaan Dana Desa hingga pemberdayaan masyarakat.
Karenanya, materi pelatihan harus dirancang sesuai kebutuhan lapangan, dengan pendekatan yang praktis dan aplikatif. Jika materi pelatihan terlalu teoritis atau tidak relevan, pelatihan berbasis LMS ini berisiko kehilangan esensinya sebagai upaya peningkatan kapasitas pendamping.
Respon terhadap program ini bervariasi. Sebagian PLD mengapresiasi langkah pemerintah dalam mendorong profesionalisme mereka. Bagi mereka, pelatihan LMS merupakan peluang untuk memperkuat pengetahuan dan keterampilan yang dibutuhkan dalam menjalankan tugas.Â
Ada pula yang menganggap pelatihan ini sebagai beban tambahan, terutama jika pelaksanaannya dilakukan di luar jam kerja tanpa kompensasi yang jelas.
Pada akhirnya, apakah pelatihan LMS ini benar-benar menjadi syarat keberlanjutan kontrak PLD masih menjadi pertanyaan besar. Jika pemerintah ingin memastikan keberhasilan program ini, maka pendekatan yang inklusif dan adaptif sangat diperlukan. Dukungan terhadap PLD di daerah terpencil harus menjadi prioritas, baik dalam bentuk bantuan teknis maupun penyederhanaan akses pelatihan.
Dengan demikian, pelatihan LMS dapat menjadi instrumen yang efektif untuk meningkatkan kapasitas pendamping lokal desa, tanpa menjadi beban yang tidak perlu bagi mereka. Jika semua tantangan ini dapat diatasi, maka program ini tidak hanya menjawab pandangan miring terhadap kapasitas PLD, tetapi juga menjadi fondasi untuk pembangunan desa yang lebih berkelanjutan di masa depan.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI