Mohon tunggu...
Beryn Imtihan
Beryn Imtihan Mohon Tunggu... Konsultan - Penikmat Kopi

Saat ini mengabdi pada desa. Kopi satu-satunya hal yang selalu menarik perhatiannya...

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Kami Memanggilnya, Mas Jon

3 Desember 2024   13:04 Diperbarui: 5 Desember 2024   07:51 325
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kami memanggilnya Mas Jon (sumber: foto dokumen pribadi)

Kami memanggilnya Mas Jon, pemilik kantin asrama yang dengan keikhlasannya telah menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan mahasiswa PTIQ Jakarta. 

Dalam banyak hal, ia bukan sekadar penjual makanan, melainkan figur yang akrab, rendah hati, dan penuh pengertian terhadap kondisi penghuni asrama. 

Nama panggilan itu, konon, diberikan oleh seorang mahasiswa Betawi bernama Ruli, entah karena kesederhanaan atau kehangatan pribadinya, atau nama itu kepanjangan. 

Nama aslinya, Sarwo Edi Wibowo—mohon koreksi jika salah—mungkin tidak banyak diingat, tetapi sebutan Mas Jon sudah menjadi legenda yang hidup di antara generasi alumni PTIQ.

Kami memanggilnya Mas Jon, sosok yang sudah membuka kantin sejak tahun 1995, ketika asrama PTIQ masih terdiri dari delapan bangunan sederhana sebelum berganti rupa menjadi rusunawa. 

Di masa itu, mahasiswa program tahfidz penuh yang hidupnya sederhana sering kali menggantungkan nasib pada kemurahan hati pemilik kantin kecil ini. 

“Ngutang” atau “nyatet” sudah menjadi istilah yang akrab di antara penghuni asrama, semacam tradisi tak tertulis yang dipelihara oleh rasa saling percaya antara Mas Jon dan para mahasiswa. 

Bahkan ada yang menulis di buletin kampus, kantin Mas Jon adalah “Kantin Para Proletariat.” Julukan itu tepat, sebab kantin ini menjadi tempat berteduh bagi mereka yang dompetnya sering kosong.

Kami memanggilnya Mas Jon, yang tidak hanya menjual makanan tetapi juga menyediakan solusi. Saat penghuni asrama tidak memiliki uang, ia dengan mudahnya berkata, “Nanti aja...” 

Catatan utang di buku kecilnya menjadi pengingat betapa seringnya ia menanggung beban keuangan mahasiswa tanpa keluhan. Tidak jarang, ketika reuni atau kegiatan lain, alumni mengingat masa lalu dengan canda, “Catatanmu masih ada tuh di buku Mas Jon” atau “Sudah bayar utang belum?” 

Kalimat-kalimat itu selalu disambut gelak tawa, tetapi sekaligus penuh rasa syukur dan hormat kepada Mas Jon yang jasanya begitu besar.

Kami memanggilnya Mas Jon, dan kantinnya menjadi lebih dari sekadar tempat makan. Itu adalah ruang pertemuan, tempat berbagi cerita, diskusi panjang, atau sekadar mencari ketenangan di sela-sela kesibukan menghafal Al-Qur’an. 

Asrama PTIQ saat itu memiliki dinamika kehidupan yang khas. Bangunan-bangunannya, meskipun sederhana, penuh cerita. Bangunan depan dengan dua lantai, lantai bawah sebagai tempat usaha dan sekretariat BEM, lantai atas tempat berkumpulnya komisariat beberapa organisasi ekstra kampus. 

Masjid Asrama Darul Quran, tempat beribadah sekaligus pusat kegiatan rohani, menjadi saksi banyak kenangan tak terlupakan. Di antara bangunan itu, kantin Mas Jon berdiri sebagai oase bagi mahasiswa yang hidup dalam kesederhanaan.

Kami memanggilnya Mas Jon, yang menjadi bagian dari keseharian kami di asrama. Asrama dua, dengan kondisi bangunan yang apa adanya dan kamar mandi yang terbatas, sering membuat penghuninya berbagi fasilitas dengan asrama lain. 

Di asrama tiga, suasananya lebih nyaman dengan banyak kamar mandi dan halaman yang luas. Di bawah pohon mangga besar yang teduh, di situ mahasiswa sering muraja’ah, bermain gitar, atau sekadar menikmati gorengan Mbak Yu. 

Di tengah kesederhanaan itu, kantin Mas Jon menjadi pusat gravitasi, tempat kami merasa diterima walaupun hanya datang, untuk ngutang makan tanpa syarat.

Kami memanggilnya Mas Jon, dan kami tidak pernah melupakan kemurahan hatinya. Salah satu momen yang paling membekas adalah ketika hari pertama sahur di bulan Ramadan. 

Di hari itu, Mas Jon akan memberikan makanan gratis kepada semua mahasiswa, dengan lauk ayam. Mungkin bagi sebagian orang, itu adalah hal kecil, tetapi bagi kami, itu adalah berkah besar. 

Di tengah kesulitan hidup, kebaikan Mas Jon memberikan kehangatan yang tak ternilai. Ia tidak pernah mengungkit utang kami, apalagi menagih dengan nada tinggi. Baginya, membantu menjadi bagian dari falsafah hidupnya.

Kami memanggilnya Mas Jon, yang menjadi saksi perjalanan dari banyak mahasiswa sederhana dan "nekat" bermodal hafalan Quran kuliah di kota besar, menjadi pribadi yang lebih dewasa. 

Dari kantinnya, kami menyaksikan generasi demi generasi mahasiswa PTIQ yang belajar tidak hanya menghafal Al-Qur’an tetapi juga menjalani hidup dalam keterbatasan dengan penuh rasa syukur. 

Mas Jon seolah menjadi jembatan yang menghubungkan masa lalu kami yang penuh tantangan dengan masa kini yang lebih baik. Ia adalah penyelamat para penghafal Qur’an yang kini telah berkiprah sebagai kyai, penghulu, dosen, birokrat, anggota dewan, dan profesi-profesi mulia lainnya.

Kami memanggilnya Mas Jon, meskipun kini kantinnya mungkin telah tergantikan oleh modernisasi asrama yang berubah menjadi rusunawa. Bangunan-bangunan lama dengan segala memorinya telah tiada, digantikan oleh fasilitas yang lebih megah dan rapi. 

Kebiasaan “nyatet” mungkin juga telah hilang, seiring perubahan kampus atau mungkin dan gaya hidup mahasiswa. Namun, bagi kami, Mas Jon tetap menjadi simbol kesederhanaan, ketulusan, dan pengorbanan tanpa pamrih. Ia adalah bagian tak terpisahkan dari perjalanan kami di PTIQ.

Kami memanggilnya Mas Jon, dan setiap kali nama itu disebut, selalu ada rasa hangat yang membuncah di hati. Ia bukan sekadar pemilik kantin, melainkan sosok yang mengajarkan kami arti saling berbagi dan peduli. 

Tidak ada penghargaan yang cukup untuk membalas semua kebaikannya. Kami hanya bisa mendoakan agar ia selalu diberikan kesehatan, keberkahan, dan kebahagiaan. 

Sebab bagi kami, Mas Jon adalah pahlawan kecil dengan jasa yang tak ternilai. Terima kasih, Mas Jon, untuk semua yang telah engkau lakukan. Engkau adalah bagian dari cerita hidup kami yang sulit terlupakan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun