Dari kantinnya, kami menyaksikan generasi demi generasi mahasiswa PTIQ yang belajar tidak hanya menghafal Al-Qur’an tetapi juga menjalani hidup dalam keterbatasan dengan penuh rasa syukur.
Mas Jon seolah menjadi jembatan yang menghubungkan masa lalu kami yang penuh tantangan dengan masa kini yang lebih baik. Ia adalah penyelamat para penghafal Qur’an yang kini telah berkiprah sebagai kyai, penghulu, dosen, birokrat, anggota dewan, dan profesi-profesi mulia lainnya.
Kami memanggilnya Mas Jon, meskipun kini kantinnya mungkin telah tergantikan oleh modernisasi asrama yang berubah menjadi rusunawa. Bangunan-bangunan lama dengan segala memorinya telah tiada, digantikan oleh fasilitas yang lebih megah dan rapi.
Kebiasaan “nyatet” mungkin juga telah hilang, seiring perubahan kampus atau mungkin dan gaya hidup mahasiswa. Namun, bagi kami, Mas Jon tetap menjadi simbol kesederhanaan, ketulusan, dan pengorbanan tanpa pamrih. Ia adalah bagian tak terpisahkan dari perjalanan kami di PTIQ.
Kami memanggilnya Mas Jon, dan setiap kali nama itu disebut, selalu ada rasa hangat yang membuncah di hati. Ia bukan sekadar pemilik kantin, melainkan sosok yang mengajarkan kami arti saling berbagi dan peduli.
Tidak ada penghargaan yang cukup untuk membalas semua kebaikannya. Kami hanya bisa mendoakan agar ia selalu diberikan kesehatan, keberkahan, dan kebahagiaan.
Sebab bagi kami, Mas Jon adalah pahlawan kecil dengan jasa yang tak ternilai. Terima kasih, Mas Jon, untuk semua yang telah engkau lakukan. Engkau adalah bagian dari cerita hidup kami yang sulit terlupakan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H