Mohon tunggu...
Beryn Imtihan
Beryn Imtihan Mohon Tunggu... Konsultan - Penikmat Kopi

Saat ini mengabdi pada desa. Kopi satu-satunya hal yang selalu menarik perhatiannya...

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Rp 10.000 untuk Gizi Negeri, Cukupkah?

1 Desember 2024   00:44 Diperbarui: 1 Desember 2024   07:45 79
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Birokrasi. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Program makan bergizi gratis yang digagas pemerintah dengan alokasi anggaran Rp 10.000 per porsi menarik perhatian publik, baik sebagai inovasi maupun tantangan. Presiden Prabowo Subianto menyatakan bahwa angka ini cukup untuk memenuhi kebutuhan gizi anak-anak dan ibu hamil di daerah-daerah (Kompas.com, 29/11/2024).

Namun, klaim tersebut mengundang tanda tanya besar: apakah benar Rp 10.000 dapat menjamin asupan gizi berkualitas bagi kelompok rentan ini, atau justru menjadi cermin ketidakseimbangan kebijakan anggaran?

Secara teori, angka Rp 10.000 mungkin terlihat cukup jika dihitung dalam skenario harga bahan makanan murah. Namun, Indonesia adalah negara dengan disparitas geografis yang besar. Harga bahan pangan di kota besar tentu berbeda jauh dengan daerah terpencil.

Apa yang dapat dibeli dengan Rp 10.000 di Lombok, misalnya, mungkin hanya mendapatkan setengahnya di Papua. Kondisi ini berisiko menciptakan ketimpangan gizi di antara masyarakat, yang justeru bertentangan dengan tujuan program tersebut.

Sebagai alternatif, Badan Gizi Nasional (BGN) menyarankan subsidi silang, mengalihkan surplus dari daerah dengan biaya rendah ke daerah dengan harga tinggi (Kompas.com, 29/11/2024). Namun, mekanisme ini rumit dan rentan terhadap salah kelola.

Jika subsidi silang gagal, daerah-daerah dengan harga bahan makanan mahal berpotensi memberikan menu seadanya. Artinya, alokasi Rp 10.000 malah melanggengkan masalah gizi buruk yang justru ingin diatasi oleh program ini.

Dalam konteks pedesaan, peluang pemberdayaan Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) bisa menjadi solusi inovatif. Dengan melibatkan BUMDes sebagai penyedia bahan pangan atau bahkan pengolah makanan bergizi, program ini dapat meningkatkan efisiensi anggaran sekaligus memberdayakan ekonomi lokal.

Misalnya, BUMDes bisa memproduksi makanan olahan seperti keripik berbasis lokal yang bergizi tinggi atau mengelola dapur komunitas. Hal ini memungkinkan program berjalan berkelanjutan sambil menciptakan lapangan kerja.

Lebih jauh, peran Dana Desa bisa dioptimalkan untuk mendukung implementasi program ini. Dengan anggaran yang sudah dialokasikan hingga Rp71 triliun, pemerintah dapat memanfaatkan sebagian kecilnya untuk mendukung program makan bergizi gratis.

Dana tersebut bisa digunakan untuk pengadaan bahan pangan lokal, pembangunan infrastruktur dapur umum, atau pelatihan masyarakat tentang pengolahan makanan bergizi. Hal ini tidak hanya meningkatkan keberhasilan program tetapi juga memberdayakan desa secara holistik.

Namun, tantangan lain muncul dalam pengawasan dan pelaksanaan di lapangan. Seperti banyak program sosial lainnya, distribusi anggaran rentan terhadap penyelewengan. Tanpa pengawasan yang ketat, Rp 10.000 per porsi mungkin hanya menjadi angka simbolis tanpa dampak nyata.

Pemerintah harus memastikan transparansi dalam pengelolaan anggaran dengan melibatkan masyarakat, organisasi lokal, dan lembaga independen untuk memantau pelaksanaan program secara berkala, sehingga dapat mencegah penyimpangan dan memastikan anggaran digunakan sesuai kebutuhan yang telah direncanakan.

Aspek lain yang perlu diperhatikan adalah kualitas makanan yang disediakan. Gizi bukan hanya soal jumlah makanan, tetapi juga kandungannya. Untuk memenuhi standar gizi yang layak, menu harus mencakup karbohidrat, protein, lemak sehat, serta vitamin dan mineral.

Dengan Rp 10.000, tantangannya adalah menemukan keseimbangan antara kuantitas dan kualitas. Jika gagal, program ini berisiko menjadi sekadar formalitas tanpa hasil signifikan bagi kesejahteraan masyarakat.

Kebijakan ini juga menuntut koordinasi lintas sektor, termasuk antara Kementerian Kesehatan, Kementerian Desa, dan pemerintah daerah. Tanpa sinergi yang baik, implementasi di lapangan bisa berjalan pincang.

Misalnya, program ini bisa gagal total jika pemerintah daerah tidak memiliki kapasitas untuk mendistribusikan bahan makanan atau memastikan kualitasnya sesuai standar. Pemerintah pusat harus menyediakan panduan teknis yang jelas dan dukungan logistik yang memadai.

Jika berhasil, program makan bergizi gratis berpotensi menjadi game-changer dalam meningkatkan kualitas hidup masyarakat, terutama bagi kelompok rentan. Namun, keberhasilan program ini bergantung pada kesungguhan pemerintah dalam menyeimbangkan ambisi dengan realitas.

Tanpa perencanaan matang, anggaran Rp 10.000 hanya menjadi janji kosong yang menguap di tengah kesenjangan sosial, geografis, akses pendidikan, dan layanan kesehatan yang masih akut, memperparah ketimpangan antardaerah dan melemahkan upaya pembangunan berkelanjutan.

Di sisi lain, peran aktif masyarakat sangat penting untuk keberhasilan program ini. Kesadaran akan pentingnya gizi harus ditanamkan, terutama di kalangan orang tua. Selain itu, keterlibatan masyarakat dalam pengawasan juga menjadi kunci untuk memastikan bahwa setiap porsi makanan benar-benar sampai ke tangan yang membutuhkan.

Program ini bisa menjadi langkah nyata dalam mengatasi masalah kelaparan, gizi buruk, dan meningkatkan kesadaran masyarakat akan pentingnya pola makan sehat serta pemberdayaan lokal melalui pemanfaatan sumber daya desa secara berkelanjutan demi kesejahteraan bersama.

Akhirnya, angka Rp 10.000 hanyalah instrumen. Keberhasilan program makan bergizi gratis bukan ditentukan oleh nominal, tetapi oleh eksekusi dan komitmen. Pemerintah harus menjadikan program ini sebagai momentum untuk memperkuat kolaborasi antara negara, masyarakat, dan sektor swasta. Dengan pendekatan menyeluruh, program ini dapat menjadi landasan menuju Indonesia yang lebih sehat dan sejahtera.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun