Mohon tunggu...
Beryn Imtihan
Beryn Imtihan Mohon Tunggu... Konsultan - Penikmat Kopi

Saat ini mengabdi pada desa. Kopi satu-satunya hal yang selalu menarik perhatiannya...

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Ujian Nasional, Standar atau Beban bagi Desa?

19 November 2024   14:13 Diperbarui: 19 November 2024   17:04 49
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Gambar oleh Sabrina Eickhofff dari Pixabay

Sebagai seorang pendamping desa, saya sering mendengar diskusi hangat tentang Ujian Nasional (UN). Bagi sebagian orang, UN adalah bukti nyata bahwa setiap siswa di Indonesia diuji secara setara. 

Namun, bagi sebagian lainnya, terutama masyarakat pedesaan, UN lebih terasa seperti ujian ketahanan hidup, bukan sekadar ujian pengetahuan. 

Ketika UN masih menjadi bagian penting dari sistem pendidikan, saya menyaksikan sendiri bagaimana anak-anak di desa berjuang menghadapi tantangan besar yang sering kali tidak dipahami oleh mereka yang tinggal di perkotaan.

Bagi siswa di desa, UN bukan hanya soal menyelesaikan soal-soal pilihan ganda atau esai. UN merupakan pertempuran melawan segala keterbatasan—akses ke fasilitas pendidikan yang tak memadai, keterbatasan tenaga pengajar, hingga kondisi ekonomi keluarga yang memaksa mereka membagi waktu antara belajar dan membantu pekerjaan orang tua.

Dalam banyak kasus, tekanan UN tidak sekadar menjadi pemacu semangat, tetapi menjadi momok yang menghantui.

Saya masih ingat seorang anak di Pulau Medang saat saya bertugas di Sumbawa. Ia siswa yang penuh semangat dan tekad dalam belajar.

Namun, di malam-malam menjelang Ujian Nasional, ketika saya menginap di pulau itu, pemandangan yang saya saksikan cukup memilukan. 

Ia belajar dengan penerangan seadanya—lampu minyak—karena desanya belum sepenuhnya teraliri listrik. Meskipun semangatnya luar biasa, saya bisa melihat ia sering kewalahan. Malam itu, saya sempat mendengar ia mengeluh dalam bahasa Sumbawa. Ketika saya bertanya apa artinya, ia menjawab: 

"Apa gunanya belajar kalau soalnya sulit dan tidak pernah diajar?"

Pernyataannya menusuk hati saya. Anak itu, dengan segala keterbatasannya, seperti berbicara mewakili ribuan anak lain di desa-desa di seluruh Indonesia yang menghadapi realitas serupa—berjuang keras menghadapi tantangan besar yang terkadang terasa mustahil mereka taklukkan.

UN memang memberikan standar yang seragam, tetapi apakah itu adil bagi mereka, yang tidak memulai dari garis yang sama? Di desa, buku-buku pelajaran sering kali lusuh dan usang, guru-guru bekerja dengan beban berat, dan fasilitas pendidikan jauh dari ideal. Dibandingkan dengan kota, ketimpangan itu terlalu mencolok. 

UN tidak mempertimbangkan konteks ini. Bagaimana mungkin anak-anak desa yang belajar dengan sumber daya seadanya bersaing dengan anak-anak di kota yang memiliki akses bimbingan belajar mahal dan teknologi canggih?

Namun, ketika UN akhirnya dihapus pada tahun 2020, reaksi di desa tidak selalu penuh kegembiraan. Sebagian orang tua merasa kehilangan pegangan. “Kalau tidak ada UN, bagaimana anak-anak ini akan dinilai? Bagaimana mereka tahu bahwa mereka cukup pintar melanjutkan pendidikan?” tanya seorang ibu dengan nada khawatir di sela-sela acara musyawarah RPJM Desa

Ketiadaan UN memang mengurangi tekanan, tetapi juga memunculkan kekosongan. Sistem pengganti, seperti Asesmen Nasional (AN), belum sepenuhnya dipahami oleh masyarakat.

Sebagai pendamping desa, saya melihat bahwa tantangan terbesar bukan soal ada atau tidaknya UN, melainkan bagaimana sistem pendidikan kita memahami kebutuhan desa. 

Tanpa UN, anak-anak mungkin lebih bebas belajar, tetapi apakah mereka benar-benar diarahkan mencapai kompetensi yang diperlukan? Sebaliknya, dengan UN, mereka dipaksa mengejar target yang sering kali terasa mustahil, sehingga banyak yang memilih menyerah.

Pendidikan di desa membutuhkan pendekatan yang lebih manusiawi. Saya percaya bahwa pendidikan adalah jalan keluar dari kemiskinan, tetapi jalan itu tidak bisa sama bagi semua orang. Desa memiliki karakteristik unik yang memengaruhi cara anak-anak belajar. Sistem pendidikan harus mampu mengenali ini, bukan malah memaksakan standar yang seragam.

Misalnya, daripada memaksakan materi yang tidak relevan, mengapa tidak memasukkan pendidikan berbasis kearifan lokal? Di desa-desa yang kaya akan tradisi dan budaya, anak-anak bisa belajar sambil mempertahankan warisan mereka. Pendidikan berbasis konteks seperti ini akan lebih bermakna daripada sekadar mengejar angka-angka di lembar ujian.

Selain itu, pendidikan di desa juga perlu didukung oleh infrastruktur yang memadai. UN atau sistem evaluasi apa pun tidak akan efektif jika fasilitas dasar seperti buku, listrik, dan akses internet masih menjadi barang mewah. 

Saat pandemi Covid-19 saya pernah melihat siswa di sebuah desa di Lombok Utara harus berjalan hampir sejam ke puncak sebuah bukit hanya untuk mencapai satu-satunya tempat dengan sinyal internet demi belajar daring. Bayangkan tekanan tambahan yang mereka hadapi jika harus menjalani UN di tengah keterbatasan ini.

Meski UN sudah dihapus, pekerjaan belum selesai. Sistem pendidikan masih perlu banyak perbaikan, terutama dalam memastikan bahwa setiap anak di desa memiliki kesempatan yang sama untuk berhasil. Mungkin bukan UN yang harus diperdebatkan, tetapi bagaimana mendesain sistem yang lebih inklusif dan adaptif.

Bagi saya, pengalaman ini memberikan pelajaran penting, pendidikan bukan soal angka atau sertifikat, melainkan soal memberdayakan. Anak-anak di desa memiliki potensi yang luar biasa, tetapi sering kali mereka terjebak dalam sistem yang tidak memberikan ruang berkembang. Masyarakat membutuhkan sistem pendidikan yang tidak hanya menguji, tetapi juga membimbing mereka menuju masa depan yang lebih baik.

Jadi, apakah UN memberikan dampak positif atau negatif? Jawabannya tidak hitam putih. Yang jelas, desa membutuhkan lebih dari sekadar ujian. Mereka membutuhkan perhatian, dukungan, dan sistem pendidikan yang memahami realitas mereka. Tanpa itu, apa pun sistem evaluasinya, anak-anak desa akan terus berada di pinggir jalan pendidikan nasional.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun