Mohon tunggu...
Beryn Imtihan
Beryn Imtihan Mohon Tunggu... Konsultan - Penikmat Kopi

Saat ini mengabdi pada desa. Kopi satu-satunya hal yang selalu menarik perhatiannya...

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Ujian Nasional, Standar atau Beban bagi Desa?

19 November 2024   14:13 Diperbarui: 19 November 2024   17:04 34
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

UN memang memberikan standar yang seragam, tetapi apakah itu adil bagi mereka, yang tidak memulai dari garis yang sama? Di desa, buku-buku pelajaran sering kali lusuh dan usang, guru-guru bekerja dengan beban berat, dan fasilitas pendidikan jauh dari ideal. Dibandingkan dengan kota, ketimpangan itu terlalu mencolok. 

UN tidak mempertimbangkan konteks ini. Bagaimana mungkin anak-anak desa yang belajar dengan sumber daya seadanya bersaing dengan anak-anak di kota yang memiliki akses bimbingan belajar mahal dan teknologi canggih?

Namun, ketika UN akhirnya dihapus pada tahun 2020, reaksi di desa tidak selalu penuh kegembiraan. Sebagian orang tua merasa kehilangan pegangan. “Kalau tidak ada UN, bagaimana anak-anak ini akan dinilai? Bagaimana mereka tahu bahwa mereka cukup pintar melanjutkan pendidikan?” tanya seorang ibu dengan nada khawatir di sela-sela acara musyawarah RPJM Desa

Ketiadaan UN memang mengurangi tekanan, tetapi juga memunculkan kekosongan. Sistem pengganti, seperti Asesmen Nasional (AN), belum sepenuhnya dipahami oleh masyarakat.

Sebagai pendamping desa, saya melihat bahwa tantangan terbesar bukan soal ada atau tidaknya UN, melainkan bagaimana sistem pendidikan kita memahami kebutuhan desa. 

Tanpa UN, anak-anak mungkin lebih bebas belajar, tetapi apakah mereka benar-benar diarahkan mencapai kompetensi yang diperlukan? Sebaliknya, dengan UN, mereka dipaksa mengejar target yang sering kali terasa mustahil, sehingga banyak yang memilih menyerah.

Pendidikan di desa membutuhkan pendekatan yang lebih manusiawi. Saya percaya bahwa pendidikan adalah jalan keluar dari kemiskinan, tetapi jalan itu tidak bisa sama bagi semua orang. Desa memiliki karakteristik unik yang memengaruhi cara anak-anak belajar. Sistem pendidikan harus mampu mengenali ini, bukan malah memaksakan standar yang seragam.

Misalnya, daripada memaksakan materi yang tidak relevan, mengapa tidak memasukkan pendidikan berbasis kearifan lokal? Di desa-desa yang kaya akan tradisi dan budaya, anak-anak bisa belajar sambil mempertahankan warisan mereka. Pendidikan berbasis konteks seperti ini akan lebih bermakna daripada sekadar mengejar angka-angka di lembar ujian.

Selain itu, pendidikan di desa juga perlu didukung oleh infrastruktur yang memadai. UN atau sistem evaluasi apa pun tidak akan efektif jika fasilitas dasar seperti buku, listrik, dan akses internet masih menjadi barang mewah. 

Saat pandemi Covid-19 saya pernah melihat siswa di sebuah desa di Lombok Utara harus berjalan hampir sejam ke puncak sebuah bukit hanya untuk mencapai satu-satunya tempat dengan sinyal internet demi belajar daring. Bayangkan tekanan tambahan yang mereka hadapi jika harus menjalani UN di tengah keterbatasan ini.

Meski UN sudah dihapus, pekerjaan belum selesai. Sistem pendidikan masih perlu banyak perbaikan, terutama dalam memastikan bahwa setiap anak di desa memiliki kesempatan yang sama untuk berhasil. Mungkin bukan UN yang harus diperdebatkan, tetapi bagaimana mendesain sistem yang lebih inklusif dan adaptif.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun