Kedua, Kementerian Desa harus memperkuat pelatihan dan edukasi tentang SDGs Desa, terutama bagi perangkat desa dan pendamping desa. Ini tidak bisa hanya berupa pelatihan satu kali, tetapi perlu diadakan secara berkelanjutan agar semua pihak yang terlibat benar-benar memahami pentingnya data SDGs dan bagaimana cara menggunakannya secara tepat.
Ketiga, perlu ada perbaikan dalam sistem penginputan data SDGs Desa. Dashboard yang sering kali bermasalah harus segera diperbaiki agar data dapat diakses dan diinput secara efisien. Kegagalan teknologi dalam hal ini bukanlah alasan yang bisa diterima, mengingat pentingnya data ini bagi perencanaan pembangunan.
Kesimpulan
Tagging asal-asalan seperti memasukkan gaji perangkat desa dalam kategori "Desa Tanpa Kelaparan" bukan hanya mencerminkan kurangnya pemahaman teknis, tetapi juga mencerminkan lemahnya komitmen terhadap SDGs Desa.Â
Perangkat desa, pendamping, dan pemerintah harus bekerja lebih serius untuk memastikan bahwa data yang dikumpulkan sesuai dengan kategori yang benar dan dapat digunakan untuk mempercepat pembangunan desa.Â
Menteri yang baru memiliki tugas besar untuk membenahi masalah ini dan memastikan bahwa SDGs Desa benar-benar bisa menjadi alat yang efektif dalam mencapai pembangunan berkelanjutan.
Tulisan ini merupakan refleksi dari pengalaman saya sebelumnya, dengan sedikit pembaruan. Ini juga menjadi bentuk otokritik, mengingat perlunya peningkatan kesadaran dan pemahaman di kalangan semua pihak terkait.Â
Kita tidak boleh lagi menganggap enteng peran dan fungsi data SDGs Desa. Hanya dengan pemahaman yang baik dan kolaborasi yang kuat, kita bisa mencapai tujuan pembangunan yang berkelanjutan dan nyata di tingkat desa.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H